Hari Pendidikan Nasional dan Nasib Kesejahteraan Guru

Oleh: Yeyen Febriyani, Pendidik tinggal di Kudus

Hari ini, 2 Mei, bangsa ini kembali memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Di berbagai pelosok Indonesia, akan ada upacara, pidato, dan baliho-baliho besar bertuliskan kutipan dari Ki Hajar Dewantara. Tapi bagi sebagian besar guru, peringatan ini lebih terasa seperti pengingat luka lama: bahwa pendidikan kita bertumpu pada pengabdian guru, namun kesejahteraan mereka tak kunjung menjadi prioritas.

Banyak guru honorer yang hanya menerima honor Rp300.000 hingga Rp700.000 per bulan. Itu pun kadang harus menunggu pencairan dana BOS yang datangnya tak tentu. Bayangkan, bagaimana mungkin seseorang bisa hidup layak dengan pendapatan seperti itu, di tengah harga kebutuhan pokok yang terus naik?

Ada rekan penulis sudah 11 tahun mengabdi sebagai guru kelas. Gajinya tetap di angka Rp650.000 per bulan. “Saya bukan kerja untuk uang, Mbak. Tapi kadang sedih juga, ketika anak saya tanya, kenapa Ibu nggak bisa beliin sepatu baru kayak ibu teman-temannya,” katanya sambil tersenyum pahit.

Ironis, bukan? Di tengah gempita pidato pejabat tentang pentingnya pendidikan, masih banyak guru yang berjuang hanya untuk bertahan hidup.

Di sektor swasta, kesejahteraan guru bahkan jauh lebih timpang. Tidak ada standar gaji yang pasti. Semuanya tergantung pada kebijakan yayasan. Beberapa sekolah swasta yang dikelola dengan baik mampu memberikan gaji yang cukup layak. Namun tak sedikit pula yang justru memperlakukan guru seperti tenaga sukarela, dengan beban kerja yang tinggi, tanggung jawab besar, tapi imbalan yang nyaris tak manusiawi.

Kondisi ini membuat banyak guru mencari pekerjaan tambahan: les privat, jualan online, bahkan menjadi ojek daring di luar jam sekolah. Lantas kapan mereka punya waktu untuk merancang pembelajaran yang kreatif dan bermutu?

Dalam ekosistem pendidikan, guru adalah jantungnya. Mereka bukan sekadar penyampai kurikulum, tapi juga pelita yang menyalakan harapan. Mereka mendampingi anak-anak bukan hanya belajar menghitung dan membaca, tetapi juga membentuk karakter dan nilai hidup.

Namun bagaimana mungkin kita berharap pendidikan Indonesia maju jika para gurunya tidak hidup dengan layak?

Sudah terlalu lama kesejahteraan guru, terutama guru honorer dan guru swasta, hanya menjadi bagian dari wacana. Program pengangkatan PPPK memang membuka harapan, tapi prosesnya masih penuh tantangan. Banyak guru yang gagal karena persoalan administratif, usia, atau kendala teknis dalam ujian.

Pemerintah pusat memang memegang kendali atas kebijakan nasional. Namun pemerintah daerah dan yayasan pendidikan juga harus bertanggung jawab. Daerah bisa membuat regulasi insentif tambahan untuk guru honorer. Yayasan bisa diaudit dan diberi standar minimum pengupahan.

Lebih dari itu, kita butuh perubahan paradigma: bahwa menjadi guru adalah profesi mulia yang layak diberi imbalan setara. Bahwa guru bukan relawan, melainkan profesional yang harus dihargai sebagaimana mestinya.

Hari Pendidikan seharusnya menjadi momentum bukan hanya untuk mengenang jasa Ki Hajar Dewantara, tetapi juga merenungi: apakah bangsa ini sudah benar-benar menghargai para guru?

Jika jawabannya belum, maka mari kita suarakan bersama: Guru bukan hanya pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka juga warga negara yang berhak hidup sejahtera.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News