Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat politik dan Kader Muhammadiyah Kudus
Desakan dari para purnawirawan TNI, termasuk Jenderal (Purn) Try Sutrisno, agar Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dimakzulkan, telah menimbulkan riak besar dalam dunia politik Indonesia. Tidak hanya karena siapa yang berbicara — para jenderal tua dengan kredibilitas dan jasa besar bagi republik ini — tetapi juga karena target desakan tersebut: seorang Wakil Presiden muda yang baru saja dilantik.
Presiden Prabowo Subianto pun akhirnya merespons. Melalui utusannya di bidang politik dan hukum, Wiranto, Prabowo memberikan sinyal yang jelas: Ia memilih jalan stabilitas daripada memenuhi tekanan politik jangka pendek. Di sinilah sesungguhnya menarik membaca langkah Prabowo, bukan sekadar sebagai reaksi terhadap desakan, tetapi sebagai gambaran besar bagaimana ia hendak mengelola kekuasaan lima tahun ke depan.
Mengapa desakan ini muncul? Secara objektif, latar belakang utamanya adalah kegelisahan sebagian elite, terutama di kalangan senior militer dan nasionalis, terhadap proses politik yang mengantarkan Gibran ke kursi Wakil Presiden. Banyak yang menilai, majunya Gibran merupakan hasil rekayasa hukum (melalui putusan Mahkamah Konstitusi) dan manipulasi politik, bukan hasil seleksi demokrasi yang murni.
Ini menimbulkan problem legitimasi. Ketika Gibran menjabat, sebagian kalangan merasa ada luka konstitusional yang belum sembuh. Dinasti politik keluarga mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dianggap terlalu mendominasi, dan Gibran menjadi simbol dari problem itu.
Bagi para purnawirawan TNI — yang ideologinya masih kuat terikat pada cita-cita reformasi 1998 — hal ini bukan hanya soal politik, tetapi soal prinsip menjaga demokrasi dari penyimpangan.
Di tengah tekanan tersebut, Prabowo dihadapkan pada pilihan sulit:
-Jika menuruti desakan purnawirawan, Prabowo harus siap memutus hubungan dengan Jokowi dan sebagian basis politik yang membantunya memenangkan Pilpres.
-Jika mengabaikan desakan tersebut, Prabowo berpotensi kehilangan dukungan moral dari sebagian kalangan nasionalis konservatif, termasuk jaringan para senior militer yang selama ini menjadi salah satu tulang punggung kekuatan politiknya.
Prabowo memilih jalan tengah: merespons dengan penghormatan, tetapi tetap mempertahankan Gibran. Melalui Wiranto, Prabowo mengirim pesan bahwa pemerintahan ini membutuhkan stabilitas. Ia seolah berkata, “Kritik Anda kami dengar, tapi bangsa ini tidak boleh diombang-ambingkan oleh pergolakan elite.”
Analisis ini menunjukkan bahwa Prabowo sadar betul: pada tahap awal pemerintahannya, mempertahankan kesatuan internal lebih penting daripada memenuhi tuntutan sebagian elite. Pemakzulan Gibran di awal masa jabatan akan menimbulkan guncangan besar yang dapat membelah koalisi, melemahkan legitimasi pemerintahan, dan memberi ruang kepada kekuatan oposisi untuk bangkit.
Pilihan menggunakan Wiranto sebagai utusan bukanlah kebetulan. Wiranto adalah figur militer senior yang memiliki hubungan historis dengan para purnawirawan, sekaligus loyalis Prabowo yang kini berfungsi sebagai jembatan dengan kelompok militer senior.
Dengan mengutus Wiranto, Prabowo mengirimkan dua sinyal sekaligus:
-Sinyal Hormat: Bahwa kritik dari Try Sutrisno cs dianggap penting dan layak mendapat perhatian tingkat tinggi.
-Sinyal Kekuatan: Bahwa Prabowo tetap menguasai jalur komunikasi dengan purnawirawan tanpa harus mengorbankan Wakil Presidennya.
Ini adalah contoh cerdas dari apa yang dalam ilmu politik disebut “political containment” — mengisolasi potensi ancaman dengan melibatkan lawan secara simbolik tanpa memberikan konsesi substansial.
Meski Prabowo berhasil mengelola krisis ini untuk sementara, potensi risiko tetap ada. Jika ketidakpuasan terhadap Gibran semakin meluas — bukan hanya di kalangan purnawirawan, tetapi juga masyarakat luas — maka beban politik terhadap Prabowo akan meningkat. Dalam politik, kesan “melindungi kesalahan” bisa berbalik menjadi bumerang.
Lebih jauh lagi, apabila dalam perjalanan pemerintahan Gibran melakukan blunder besar — baik dalam pernyataan publik maupun kebijakan — maka seruan pemakzulan bisa menemukan resonansi lebih luas, tidak lagi hanya di kalangan elite, tetapi di tingkat rakyat.
Dalam skenario tersebut, posisi Prabowo bisa menjadi sangat sulit: mempertahankan Gibran berarti mempertaruhkan legitimasi dirinya sendiri; mengorbankan Gibran berarti mengakui adanya kesalahan sejak awal.
Pada akhirnya, respon Prabowo terhadap desakan Try Sutrisno cs menunjukkan karakter strategis dari kepemimpinannya: mengutamakan stabilitas, menjaga koalisi besar, dan meredam tekanan tanpa konfrontasi terbuka.
Namun, jalan ini juga penuh risiko. Prabowo harus memastikan bahwa Gibran tidak menjadi liabilitas politik. Pemerintahannya perlu menunjukkan kinerja nyata, soliditas internal, dan sensitivitas tinggi terhadap aspirasi masyarakat, termasuk yang diwakili oleh para purnawirawan.
Sebagai seorang yang lama bergelut di dunia politik keras, Prabowo paham bahwa kemenangan sejati bukan hanya memenangkan pemilu, tetapi mengelola legitimasi secara berkelanjutan. Di tengah badai politik yang bisa kapan saja datang, keputusannya hari ini adalah taruhan besar untuk masa depan pemerintahannya.