Oleh: Sholihin MS (Pemerhati Sosial dan Politik)
Upaya kriminalisasi terhadap empat pelapor ijazah palsu Jokowi merupakan upaya cipta kondisi dan penggiringan opini kalau Jokowi sebagai seorang manusia “sakti” tidak bisa diganggu gugat, maka upaya proses pengadilan tidak boleh terjadi, atau kalau pun terjadi bakal berjalan tidak fair dan penuh rekayasa.
Para pembela Jokowi adalah manusia-manusia munafik yang sangat egois dan tidak berfikir untuk kemaslahatan bangsa, apalagi berfikir tentang penegakan hukum, kejujuran dan keadilan. Upaya “sabotase” proses hukum di pengadilan hanyalah sebuah kepanikan yang mendalam dan gaya yang mereka gunakan adalah gaya komunis yang tidak membiarkan “pihak lawan” mengganggu rencana (jahat) mereka.
Sebagai warga negara yang hendak menjunjung tinggi hukum, pelaporan sebuah tindakan yang diduga melanggar hukum adalah sesuatu yang wajar, normal, dan dilindungi Undang-undang. Benar dan salahnya laporan itu hanya pihak pengadilanlah yang berwenang untuk memutuskan, tidak perlu ada upaya penjegalan atau kriminalisasi para pelapor. Tidak perlu heboh apalagi panik.
Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum, hendaknya setiap tindakan dikembalikan kepada proses hukum. Jika hukum masih berpihak kepada keadilan, maka tidak perlu ada upaya show of force untuk menakut-nakuti apalagi menghentikan proses hukum.
Jokowi adalah seorang warga negara biasa yang tidak kebal hukum, tidak perlu diperlakukan secara amat istimewa seolah dia adalah seorang Raja yang terbebas dari hukum dan kesalahan.
Memang selama ini Jokowi selalu memposisikan dirinya sebagai seorang Raja (Jawa) yang tidak boleh ada yang mengusiknya. Jokowi tidak segan-segan membabat habis para pengkritiknya. Selama 10 tahun memimpin Negara, sudah berapa banyak kejahatan Jokowi terhadap lawan politiknya, tapi dia dan keluarganya tidak pernah tersentuh hukum.
Di saat dia sudah lengser pun terus memposisikan diri sebagai “manusia suci” yang tidak boleh disentuh hukum. Berbagai upaya menghindari proses hukum terus dilakukan, mulai dari menempatkan antek-anteknya di lembaga-lembaga pengadilan (KPK, MA, MK, KEJAKSAAN) mencoba mengendalikan institusi kepolisian, dan selalu memelihara die hard yang selalu membelanya sampai (berani) mati walaupun Jokowi mungkin salah dan melanggar hukum.
Kasus pelaporan kepalsuan ijazah Jokowi bukan satu-satunya problem yang dihadapi Jokowi, tapi juga kasus-kasus yang lain. Semuanya perlu dibuktikan kebenarannya melalui proses pengadilan, biarkan pengadilan yang memproses tidak perlu ada upaya jegal menjegal dan melakukan kriminalisasi.
Beberapa kasus Jokowi yang layak masuk ke pengadilan selain ijazahnya (yang dianggap palsu) adalah :
Pertama, Kasus korupsi e-KTP, Pertamina, BTS, Asabri, dan lain-lain
Diduga beberapa kasus tersebut melibatkan keluarga Jokowi, yang sebagiannya sudah dilaporkan ke KPK tetapi tidak ada tindak lanjutnya.
Kedua, Kasus pembantaian 6 Laskar pengawal IB HRS di KM50 yang sangat biadab yang melibatkan petinggi TNI-POLRI
Kasus ini selalu mentok di pengadilan karena adanya intervensi dari penguasa. Apakah kini setelah Jokowi lengser juga tidak bisa diproses ?
Ketiga, Kasus tewasnya 894 secara misterius petugas KPPS pada tahun 2019
Bahkan sekarang kasusnya sepertinya sudah terkubur dalam-dalam dan tidak akan mencuat lagi.
Keempat, Kasus penggunaan dana bansos yang hampir mencapai 500 triliun untuk kepentingan kampanye Paslon 02 tahun 2024
Dengan menyalahgunakan dana bantuan yang merupakan harta negara untuk kepentingan pribadi adalah tindakan korupsi yang nyata.
Kelima, Berbagai proyek besar mulai dari IKN, kereta cepat, jalan toll, bandara, dll yang sebagainnya mangkrak
Semua proyek tersebut perlu dilakukan audit independen, baik dari tingkat nasional maupun dari lembaga independen internasional.
Jika lembaga pengadilan bertindak secara independent, jujur, adil, dan mementingkan kepentingan bangsa dan negara, maka lembaga pengadilan harus memperlakukan semua warga negara sama di depan hukum, tidak ada warga istimewa kecuali mungkin para duta besar negara lain yang secara Undang -undang memiliki keistimewaan sendiri dalam batasan tertentu.
Jangan sampai tatanan hukum, tatanan negara, tatanan moral dan etika dihancurkan hanya demi ingin membela seseorang yang jelas-jelas ingin merusak dan menghancurkan negara Indonesia.
Jika para penegak hukum berkhianat kepada kebenaran dan keadilan maka mereka selamanya akan dikutuk oleh sejarah, dikutuk seluruh makhluk di dunia dan di akhirat dan adzab Allah telah siap untuk menghancurkan dirinya.
Bandung, 26 Syawal 1446