Paus Fransiskus, Palestina dan Kemanusiaan

Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat Politik dan Kader Muhammadiyah Kudus

Di tengah realitas dunia yang semakin terpolarisasi, suara mendiang Paus Fransiskus hadir sebagai oase yang menyejukkan nurani umat manusia. Kepulangannya ke hadirat Tuhan bukan hanya kehilangan bagi umat Katolik, tetapi juga kehilangan bagi dunia yang tengah mencari arah moral dalam berbagai krisis kemanusiaan. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah peran aktif dan konsisten dalam memperjuangkan martabat rakyat Palestina. Dalam hidupnya, Paus Fransiskus menorehkan jejak kepemimpinan spiritual yang berpihak pada mereka yang tertindas, melalui diplomasi damai dan solidaritas lintas iman.

Paus Fransiskus, lahir sebagai Jorge Mario Bergoglio, adalah pemimpin Gereja Katolik pertama yang berasal dari Amerika Latin. Ia dikenal dengan gaya hidup yang sederhana, bahasa yang membumi, dan kepekaan terhadap penderitaan manusia. Ia memperkenalkan teologi kemiskinan, bukan sekadar dalam konteks materi, melainkan dalam arti kepekaan terhadap ketidakadilan struktural yang menyebabkan penderitaan berjuta-juta jiwa.

Dalam berbagai ensikliknya seperti Evangelii Gaudium dan Fratelli Tutti, Paus Fransiskus mendorong dunia untuk keluar dari egosentrisme nasionalistik dan membuka diri terhadap solidaritas global. Ia memperluas cakrawala Gereja bukan hanya kepada umat Katolik, tetapi juga kepada umat Muslim, Yahudi, ateis, dan semua kalangan yang menderita.

Sejak awal masa kepemimpinannya, Paus Fransiskus menunjukkan kepedulian luar biasa terhadap rakyat Palestina. Pada 2015, Vatikan secara resmi mengakui Negara Palestina dalam sebuah perjanjian bilateral. Langkah ini sangat penting secara simbolik, karena menunjukkan bahwa Takhta Suci berpihak pada prinsip keadilan dan hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri.

Pengakuan ini juga menjadi kritik diam-diam terhadap status quo politik internasional yang kerap kali tidak konsisten dalam menanggapi isu Palestina. Paus Fransiskus menunjukkan bahwa agama tidak boleh menjadi alat pembenaran bagi penindasan, melainkan panggilan untuk membebaskan.

Pada Mei 2014, Paus Fransiskus melakukan kunjungan bersejarah ke Yordania, Palestina, dan Israel. Ia mengunjungi Betlehem dan bertemu langsung dengan Presiden Mahmoud Abbas, serta anak-anak Palestina yang mengalami trauma akibat konflik. Salah satu momen paling menggetarkan adalah ketika Paus berhenti di tembok pemisah Israel di Tepi Barat, menyentuh tembok itu dan berdoa dalam diam. Foto itu menjadi simbol perlawanan spiritual terhadap sistem yang memisahkan manusia dari keadilan.

Dalam setiap konflik bersenjata yang melibatkan Israel dan Palestina, Paus Fransiskus selalu menyerukan gencatan senjata dan penghormatan terhadap hukum kemanusiaan internasional. Ia tidak pernah menggunakan retorika menyalahkan satu pihak secara eksklusif, melainkan menyoroti penderitaan warga sipil sebagai prioritas moral.

“Tolong hentikan kekerasan! Ayo kita berdoa bersama agar jalan menuju perdamaian dibuka. Biarkan dua bangsa hidup berdampingan, dengan perbatasan yang diakui, dengan hati yang terbuka,” – Paus Fransiskus, 2021

Bagi Paus Fransiskus, Palestina bukan sekadar entitas politik, melainkan simbol dari penderitaan dunia yang belum ditebus. Tanah yang oleh tiga agama besar dianggap suci, seharusnya menjadi tempat perdamaian, bukan permusuhan. Oleh karena itu, pembelaannya terhadap Palestina tidak lahir dari logika geopolitik, melainkan dari panggilan iman: bahwa tidak ada kesucian sejati tanpa keadilan bagi mereka yang tertindas.

Kebanyakan negara besar terbelah antara kepentingan politik dan kepatuhan pada hukum internasional. Dalam kekosongan itulah suara Paus Fransiskus menjadi penting—bukan karena ia memiliki tentara, tetapi karena ia memimpin dengan otoritas moral. Dengan membela rakyat Palestina, ia menempatkan Gereja sebagai benteng terakhir akal sehat dan hati nurani global.

Paus Fransiskus menolak solusi militer, namun juga menolak pasifisme kosong. Ia menawarkan “jalan ketiga”: diplomasi yang berakar pada nilai moral, empati, dan pengakuan terhadap martabat manusia. Dalam konflik yang keras kepala seperti Israel-Palestina, pendekatan ini bukan hanya relevan—tetapi mendesak.

Paus Fransiskus mengajari dunia bahwa solidaritas tidak dibatasi oleh perbatasan negara, agama, atau ras. Pembelaannya terhadap Palestina adalah pengingat bahwa penderitaan di satu tempat adalah tanggung jawab seluruh umat manusia.

Lewat dialog antaragama, Paus Fransiskus membangun jembatan antara umat Kristen dan Muslim, termasuk melalui pertemuannya dengan Grand Imam Al-Azhar dan para pemimpin Islam di Palestina. Ia mengangkat pesan bahwa iman sejati tidak bertentangan dengan perdamaian.

Dalam dunia yang bising oleh propaganda, suara Paus Fransiskus menjadi pembela bagi mereka yang tak memiliki akses ke mimbar kekuasaan. Rakyat Palestina, anak-anak Gaza, para ibu yang kehilangan keluarga, menemukan dalam dirinya seorang ayah spiritual yang menyuarakan penderitaan mereka ke telinga dunia.

Mendiang Paus Fransiskus telah meninggalkan dunia, tetapi warisannya hidup dalam setiap upaya kemanusiaan, dalam setiap tangan yang membantu pengungsi, dalam setiap doa yang dipanjatkan untuk rakyat Palestina. Dunia boleh kehilangan seorang gembala, tetapi tidak kehilangan arah—selama masih ada yang meneruskan semangatnya.

Dan mungkin suatu hari, di Tanah Suci yang telah lama berdarah itu, perdamaian benar-benar datang—bukan sebagai kompromi politik, tetapi sebagai jawaban dari seruan moral yang telah lama disuarakan oleh seorang pria dari Buenos Aires yang pernah menjadi Paus umat manusia.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News