Pasangkayu – Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Gedung DPRD Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat (Sulbar) pada 3 Oktober 2024 terkait konflik agraria antara Aliansi Masyarakat dengan PT Letawa, anak perusahaan PT Astra Agro Lestari. Dalam RDP sejumlah pihak telah hadir dan berpendapat.
Aktivis masyarakat, Dedi mengatakan, yang paling menjadi sorotan dan atensi adalah wilayah yang diklaim masyarakat ternyata bukan HGU dari PT Letawa, anak perusahaan PT Astra Agro Lestari berdasarkan pengakuan BPN Pasangkayu tetapi kenyataannya sudah ada kelapa sawit yang di tanam yang usianya hampir dua dekade.
“Kami bertanya dengan pihak PT Letawa, Apakah benar menanam Kelapa sawit terlebih dahulu baru mengurus Hak Guna Usaha,” tegas Dedi kepada wartawan, Kamis (10/10/2024).
Persoalan konflik agraria antara aliansi masyarakat dan PT Letawa sebenarnya sederhana apabila semua pihak lebih terbuka terutama masalah data serta pembuktian. Menurut konstitusi apabila ada areal di luar HGU maka areal itu adalah hak negara dan untuk warga negara bukan hak korporasi yang tidak memiliki atas hak atau yang tidak memiliki izin konsesi.
Pengakuan perwakilan PT Letawa akan terus menimbulkan konflik karena jelas tidak memiliki HGU tapi selalu ingin mengurus HGU, akan tetapi proses PKKPR atau Inlok. Sedangkan inlok itu diterbitkan apabila status kawasan itu adalah kawasan hutan. Sedangkan Areal yang diklaim masyarakat itu sudah APL. Hal ini benar-benar harus menjadi perhatian semua aparat penegak hukum karena PT Letawa menanam kelapa sawit di luar konsesi dan pajaknya kemana.
“Ini sudah aneh sekali, Kami berasumsi bahwa ada mafia tanah di Kabupaten Pasangkayu, Karena sudah hampir dua puluh tahun menanam Kelapa sawit di luar konsesi. Pajaknya untuk siapa selama ini dan hasil yang di ambil dari yang di luar konsesi tersebut untuk siapa. Karena pasti itu tidak masuk ke negara”
Aliansi Masyarakat saat ini telah menduduki lokasi konflik tersebut dengan menanam kelapa sawit dan pisang serta tanaman lainnya untuk menjadi bukti bahwa di Kabupaten Pasangkayu ada masalah konflik agraria yang belum selesai dan harus segera menjadi perhatian pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
PT Letawa memastikan operasionalnya berjalan sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku di wilayah Republik Indonesia.
“Perusahaan tengah dalam proses pengurusan Hak Guna Usaha untuk lahan seluas 49 hektar,” kata Agung Senoaji, Community Development Area Manager (CDAM) yang mewakili PT Letawa. Lahan tersebut dipermasalahkan sebagian orang yang mengaku warga Desa Lariang, Pasangkayu, Sulawesi Barat.
Lahan seluas 49 hektar yang dikelola oleh PT Letawa sejak memperoleh pelepasan kawasan hutan seluas 15.000 Ha dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) pada tahun 1996 itu, menurut Agung, merupakan bentuk ketaatan perusahaan terhadap aturan yang berlaku.