Jokowi Sembunyi di Alam Terbuka

Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)

“Tatkala satu pintu kejujuran tertutup, pintu yang lain terbuka, tetapi sering kita begitu lama pada pintu yang tertutup, hingga kita tak melihat pintu lain yang terbuka di depan kita. (Helen Keller)”

Anggota kajian politik Merah Putih minta siang ini juga ( 31.05.2023 ) harus segera dibahas menyoal Jokowi sudah mengeluarkan statemen cawe cawe dalam Pilpres 2024.

Saat itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) menepis tudingan ikut campur atau cawe-cawe dalam pemilihan calon presiden (capres) maupun cawapres di Pilpres 2024. Jokowi menegaskan pertemuannya dengan enam ketua umum partai politik beberapa hari lalu merupakan ajang diskusi politik, di Sarinah, Jakarta Pusat, Kamis (4/5/2023).

Kata Jokowi : “Urusan capres itu urusannya partai atau gabungan partai sudah bolak balik saya sampaikan”.

Tiba tiba berbalik ucapan : ketika bertemu dengwn para pimpinan redaksi dan konten kreator di Istana Negara pada Senin, 29 Mei 2023. “Saya harus cawe-cawe,” kata Jokowi. Presiden menyatakan, keputusan ikut campur dalam urusan Pilpres dilakukan untuk negara dan bukan kepentingan praktis.

Presiden Joko Widodo menyatakan tetap akan cawe-cawe pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024 karena menilai pemilihan presiden dan wakil presiden 2024-2029 menjadi krusial karena Indonesia membutuhkan pemimpin yang bisa menjadikan negara maju pada 2030.

“Karena itu saya cawe-cawe. Saya tidak akan netral karena ini kepentingan nasional,” katanya.

Jusuf Wanandi mengatakan : “saya kira koalisi pendukung keberlanjutan pemerintahan Jokowi ini tidak akan membiarkan lebih dari dua pasangan capres dan cawapres. Karena terlalu banyak risiko,” ujar Jusuf di program Rosi KOMPAS TV, Kamis (25/5/2023).”

Jarak ucapan Jusuf Wanandi dan Jokowi hanya selang 4 ( empat ) hari, sebuah skenario waktu yang cantik seperti hubungan patron dan klien politik, diorganisasikan oleh orang yang berkuasa, lalu memelihara loyalitas orang yang lebih rendah kedudukannya, untuk melaksanakan perintahnya.

Stigma masyarakat Taipan Oligarki pengendali, di bawahnya loyalis yang harus menjalankan perintah majikannya ( sang patron ). Kalau klien ini seorang presiden, celaka negara ini.

Teolog dan penulis ternama Amerika Serikat, James Freeman Clarke, mengatakan : “A politician thinks of the next election, a statesman thinks of the next generation” ( Seorang politisi berpikir tentang pemilu berikutnya, seorang negarawan memikirkan generasi berikutnya ).

Presiden Jokowi itu politisi, negarawan atau jangan jangan hanya broker politik, definisi ini kita serahkan ke rakyat sebagai pemilik kekuasaan yang sesungguhnya.

Yang kita kenal Istilah “Pemimpin Boneka” seringkali diasosiasikan untuk pemimpin yang ucapan, peran, dan sikapnya dikendalikan orang lain. Saat manggung, dikendalikan peran panggungnya oleh sutradara.

Erving Goffman menggunakan mekanisme panggung ini untuk menganalisis dunia sosialnya. Ada panggung depan (front stage), ada panggung belakang (back stage). Panggung depan sering berbeda 180 derajat dengan panggung belakang.

Pemimpin boneka politik, selalu bermain watak, seperti pelawak bisa ketawa, sekalipun situasinya sedang gawat. Ini biasa terjadi. Inilah yang oleh Goffman disebut dengan *dramaturgi*.

Perubahan sikap yang mendadak tidak akan cawe cawe soal pemilu tiba tiba berubah sikap bukan sesuatu yang aneh bagi Jokowi. Narasi demi kelanjutan program nasional dan ini kepentingan negara, itu hanyalah dramaturgi.

Narasi lanjutan apapun yang akan di keluarkan Jokowi sudah tidak penting lagi, semua rakyat dan masyarakat luas sudah lebih dari paham kemana Jokowi akan bermain dan untuk apa
bermain main

Jokowi sudah tidak akan bisa bersembunyi dengan aman , apalagi sembunyi di tempat terbuka dan terang benderang.

Kajian Politik Merah Putih akhirnya memberikan catatan bahwa semua tinggal waktu resikonya pasti akan menerpa dan menghampirinya. Tertawalah selagi masih bisa tertawa sebelum datang termenung menyesali diri