Hary Tanoe dan Politik Identitas

Oleh : Sholihin MS (Pemerhati Sosial dan Politik)

Demi mengejar jabatan Menkominfo, Hary Tanoe memancing rasisme dan pembelahan bangsa dan jualan dukungan etnis Tionghoa dengan menyebut sebanyak 7 juta etnis China akan mendukung Capres pilihan Jokowi. Tentu tidak masalah mereka akan mendukung capres yang disukainya. Tapi penyebutan etnis tertentu yang sebenarnya (mungkin) sudah ber-KTP WNI adalah upaya menghidupan politik identitas bahkan menjurus ke rasisme.

Belum lama berselang seorang yang mengatasnamakan Ketua Umum KNPI, Laode Umar Bonte juga telah berlaku rasis dengan menyudutkan keturunan etnis Arab (Yaman). Masa hanya untuk kepentingan politik sesaat bangsa Indonesia mau dibuat pengkotak-kotakan berdasarkan etnis dan suku tertentu. Bukankah dengan ikrar Sumpah Pemuda semua warga Negara Indonesia (apa pun sukunya) sudah menjadi satu kesatuan yaitu INDONESIA ?

Tuduhan politik identitas kepada Anies Baswedan ternyata hanya sebuah manuver politik dari para Anies haters padahal mereka sendiri sebagai pelaku politik identitas. Tujuannya semata-mata hanya untuk men- downgrade Anies Baswedan. Para penuduh ini bukan saja terus menerus menggaungkan bahwa Anies adalah pelaku politik identitas, tapi juga sudah menjurus ke narasi rasis dengan merendahkan dan menghina etnis tertentu (keturunan Arab), sebaliknya memuja-muja etnis yang lain (keturunan China).

Padahal dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah Asing (Belanda, Inggris, dan Jepang), warga negara keturunan Arab telah melebur sebagai bangsa Indonesia bersama para pejuang Indonesia untuk melawan dan mengusir penjajah Belanda, Inggris, dan Jepang, sedangkan orang-orang China juatru mereka bersembunyi, bahkan pasukan China yang tergabung dalam laskar Poh Ang Tui telah berkhianat kepada bangsa Indonesia dengan membantu penjajah Belanda membunuh para tentara dan rakyat Indonesia.

Etnis China dari dulu selalu ingin memisahkan diri, dan selalu merendahkan rakyat pribumi, sikapnya licik, dan tidak pernah benar-benar membaur dengan bangsa Indonesia. Walaupun mereka sudah berpuluh tahun tinggal di Indonesia bahkan sudah ber-KTP sebagai WNI, tapi bos mereka dan orientasi mereka tetap pemerintah China.

Kelicikan China terus memperdaya rakyat Indonesia (yang dianggap bodoh) sehingga mereka terus mengeruk sumber daya alam Indonesia tanpa kendali. Sayangnya mereka belum juga mau “melebur” menjadi warga Indonesia yang membela rakyat Indonesia, tapi mereka hidup secara ekslusif (memisahkan diri), memajukan kaum mereka sendiri, dan ketaatan mereka bukan kepada Pemimpin (bangsa) Indonesia, tapi kepada pemimpin mereka (China).

Saat ini rakyat Indonesia mulai tersadar dan muak dengan segala bentuk “penindasan” bangsa
China. Rakyat indonesia ingin perubahan. Dan moment perubahan hanya di tahun 2024.

Sebenarnya Anies adalah orang tidak ingin mengeksploitasi “identitas” tertentu hanya untuk kepentingan politik sesaat. Anies adalah seorang nasionalis sejati, yang tidak mau bicara soal etnis-etnis tertentu, tapi bicara Indonesia.

Justru para penggaung politik identitas itulah yang melestarikan politik identitas dengan narasi-narasi pembelahan bangsa. Ketika mau berlangsung Pemilu mereka sibuk memoles diri agar tampak Islami (pakai baju Muslim), terus berkunjung kepada para ulama, kyai, habaib, pesantren, memberikan “sumbangan” tapi pamrih, dll. tujuannya semata-mata hanya mau “membeli” suara umat Islam. Setelah mereka terpilih, akhirnya mereka kembali kepada watak aslinya sebagai “penindas” rakyat.

Seharusnya rakyat sudah paham dan sadar, kalau mereka berpenampilan Islami, bersikap sangat ramah dan dermawan, hanya kamuflase. Nikmat sehari sengsara seumur hidup, minimal 5 tahun.

Waspada terhadap capres dan caleg munafik, yang mereka ini suka bagi-bagi uang, sembako, dan bantuan lain. Harus berani berkata “tidak” untuk sebuah masa depan yang bakal mereka rusak.

Mari kita tinggalkan ego kita untuk memperjuangkan kepentingan pribadi, golongan, dan kepentingan oligarki taipan, seharusnya kita bersatu untuk kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia.

Bandung, 27 Syawwal 1444