Pejuang Perubahan – Abaikan Teori yang Menjadi Dogma

Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)

Yang paling sering membuat kita terpuruk dan membawa kesengsaraan adalah masa lalu, dalam keterlekatan pengulangan rumusan teori beku, masih diulang ulang.

Rezim saat ini terus memaksakan kehendak agar penguasa selanjutnya harus meneruskan  program tersisa pemerintah saat ini.

Anies Baswedan (ARB) membuat statemen seandainya Tuhan mentakdirkan menjadi presiden akan meneruskan program yang baik dan berpihak kepada rakyat dan akan menghentikan program yang memang harus dihentikan

Capres Prabowo Subianto (PS) sudah terdengar visinya akan mengembalikan  UUD 45, sekalipun reaksi politiknya terbaca ada kompromi dengan penguasa saat ini.

Kedua tokoh capres ARB dan PS, sadar bahwa terpaku pada teori kebijakan rezim sebelumnya tidak semua benar, bahkan telah membawa petaka dan  kekacauan .

Mengatasi setiap tantangan harus sesuai kondisi riil tuntutan masyarakat bukan semata berdasarkan produk kebijakan teori yang dipaksakan oleh kekuatan besar diluar dirinya.

Kekacauan akan terus terjadi apabila presiden mendatang masih memiliki kelemahan membatasi diri karena ketidakmampun menjaga kedaulatan dan melaksanakan tujuan negara sesuai pembukaan UUD 45  bahkan berperan sebagai boneka para bandit, badar politik dan pengaruh kekuatan asing

Baca juga:  Beathor: Jokowi dan Keluarganya Membikin Bu Mega tak Tidur Nyenyak

Telah menjadikan teori seperti doktrin sebagai cangkang pembenaran seolah olah bisa melindungi diri dari realita karena dalam menentukan kebijakan negara atas remot pemilik modal sebagai sponsornya.

Kemiskinan imajinasi bisa terjadi akibat  terjerat teori  yang tidak sambung dengan kondisi riil kepribadian bangsa Indonesia, apalagi setelah negara menjalankan UUD 2002 dan negara seperti milik para taipan dan berwajah liberal.

Siapapun menjadi presiden akan membuat rencana kerja namun ternyata tidak semua presiden bisa mengatur jalannya roda pemerintahannya dengan benar hanya presiden yang genius , sejati dengan karakter yang kuat  dan sanggup menjalankan tugasnya sesuai  amanah konstitusi yang diembannya

Persaingan politik global bergerak sangat cepat. Seorang presiden harus mempu memberikan jawaban atas berbagai keadaan yang  berubah dan bergerak dinamis tanpa kehilangan jati dirinya berubah menjadi boneka.

Kekacauan bisa terus terjadi akibat negara terlalu kaku dengan teori teori pemerintahan berupa pesanan yang dipaksakan dari luar. Menerapkan teori dan ide ide kapitalis padahal berlawanan  dengan kondisi kita sebagai bangsa yang berdasarkan Pancasila.

Pengetahuan, pengalaman dan teori kapitalis berbau liberal mempunyai keterbatasannya sendirinya.

Seorang presiden yang meyakini prinsip dan teori yang sulit dijelaskan atau memuat aturan-aturan dari para taipan yang dipaksakan adalah sama dengan mengambil posisi kaku, statis sebagai boneka,  akan memporak porandakan dan kehancuran negara.

Baca juga:  Polisi Juga Harus Tangkap Penyebar Hoax & Ujaran Kebencian Pro Pemerintah

Sekedar studi sejarah dan teori mungkin memperluas visi tentang pemerintahan, namun kita harus memerangi kecenderungan teori yang mengeras menjadi dogma kapitalis yang merusak tujuan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 45.

Seorang presiden unggulan harus memiliki kepekaan dengan keadaan yang bergerak, sama sekali baru tetapi tidak berubah menjadi lamp duck. Pemimpin besar besar tidak akan bertindak berdasarkan dogma dogma teori yang kaku, tetapi bertindak atas situasi yang terus berubah ubah tanpa kehilangan dan menjual jati dirinya .

Presiden yang cerdas  dan genius  akan selalu siap menyongsong perubahan tanpa menjadi linglung dan tidak mengenali dirinya sebagai bangsa Indonesia.

Presiden jadi jadian akan menerapkan taktik berdasarkan teori yang kaku, beku, membiarkan pikiran terperangkap dalam posisi statis, mempertahankan teori  basi yang tidak hidup bahkan menjadi dogma yang dipaksakan bahkan akan sangat berbahaya kalau berbau teori komunis bahkan mengarah menjadi tirani.