Diduga tidak Tertib Hukum, Sebaiknya Kebijakan Penon-Aktifan NIK KTP di DKI Jakarta Dibatalkan

Jakarta- Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang akan menonaktifkan nomor induk kependudukan (NIK) warga yang sudah tidak tinggal di Ibu Kota semakin santer dibicarakan publik. Diperkirakan hampir 200.000 penduduk bakal terdampak kebijakan ini, yaitu tercatat ada 194.777 penduduk NIK KTP-nya bakal dinonaktif di wilayah DKI Jakarta.

Kebijakan itupun mendapatkan respon dari berbagai kalangan, salah satu diantaranya dari kalangan generasi Milineal, yang mempersoalkan dan mempertanyakan dasar hukum dari kebijakan penon-aktifan NIK KTP tidak memiliki acuan dasar hukum yang kuat, pasalnya di UU No 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan tidak mengatur tentang pemblokiran NIK KTP, bahkan di Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa NIK KTP itu bersifat permanen dan seumur hidup, serta tidak bisa diblokir oleh siapapun, kecuali pemilik NIK KTP tersebut sudah meninggal dunia.

Demikian disampaikan Ratih Paulina Koordinator Gerakan Mahasiswa Milenial Jakarta kepada pers, Jumat, 5 Mei 2023 di Jakarta.

“Saat ini NIK KTP itu menjadi sesuatu yang sangat vital, dan itu sifatnya nasional, dan permanen, semua urusan administrasi menggunakan pencantuman NIK KTP, kalau NIK KTPnya diblokir tentunya tidak bisa melakukan aktifitas tersebut, kebijakan tersebut, terindikasi bertentangan dengan Undang-Undang Administrasi Kependudukan,” ungkap Ratih Paulina.

Baca juga:  Ahok Ditolak Warga, PDIP Ancam Turunkan Satgas dan Kader Militan

Jangan beralasan, lanjut Ratih, penertiban administrasi kependudukan, kemudian kepala Dinas Kependudukan & Catatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta membuat surat keputusan No.100 Tahun 2023, yang dasar pertimbangan di terbitkannya Surat Keputusan tersebut adalah Undang-Undang No.24 Tahun 2013 tentang adminitrasi kependudukan, padahal di undang-undang tersebut tidak mengatur mengenai penon-aktifan Nomor Induk Kependudukan Kartu Tanda Penduduk (NIK KTP), jadi Surat Keputusan dasar pertimbangan hukumnya tidak jelas, mengada-ada, dan dicocok-cocokan, sedangkan realitas bertentangan dengan Undang-Undang No.24 Tahun 2013 tentang adminitrasi kependudukan yang berlaku saat ini.

“Informasi yang kami dapat dari masyarakat yang sudah ikut sosialisasi soal kebijakan tersebut di beberapa kelurahan, pihak dukcapil tidak pernah menyebutkan bab, pasal dan ayat berapa di Undang-Undang No.24 Tahun 2013 tentang adminitrasi kependudukan yang mengatur soal penon-aktifan NIK KTP, di media massa pun Kadis Dukcapil DKI Jakarta tidak pernah menyebutkan itu, sehingga masyarakat tidak mengerti kalau surat keputusan Kadis Dukcapil DKI Jakarta dasar hukumnya tidak jelas,” tukas Ratih.

Baca juga:  Prabowo: Emak-emak Masuk Penjara, Anak Muda tak Berani Suarakan Kebenaran

Selain itu, sambung Ratih, kebijakan penon-aktifan NIK KTP juga berdampak menimbulkan kecemasan di warga Jakarta, persoalan permohonan pemblokiran NIK KTP ini oleh pihak di luar pemilik atau pemegang, jelas berbahaya. Karena selain orang lain tidak memiliki hak atas NIK KTP orang lain, juga bisa berdampak luas pada hak-hak administratif pemilik NIK KTP. Jika sengketa privat kemudian berujung pada permohonan pemblokiran NIK KTP dan ditindaklanjuti oleh Dinas Dukcapil, maka bisa jadi preseden buruk. Blokir NIK KTP bisa menjadi alat pemukul untuk “mengalahkan” pihak lain yang sedang bersengketa, dan ini bakal memunculkan konflik yang meresahkan masyarakat.

“Kalau tujuan Pemblokiran NIK KTP adalah penertiban, maka sepatutnya di dahului dengan tertib hukum, Undang-Undang kok dikalahkan dengan Surat Keputusan Kepala Dukcapil DKI Jakarta, aneh, karena itu demi supremasi tertib hirarki hukum di Indonesia, maka sepatutnya kebijakan penon-aktifan NIK KTP di Provinsi DKI Jakarta harus dibatalkan,” pungkas Ratih.