Prajurit Tumbal Teroris OPM, Sastrawan Politik: Kelemahan Komando Pimpinan dalam Tangani Separatisme Papua

Ada 9 orang tertawan OPM dan 21 lainnya belum diketahui posisi dan keberadaannya. 36 Prajurit TNI dalam misi penyelamatan pilot Susi Air ini alih-alih menyelamatkan, malah sebaliknya menjadi korban OPM karena kecerobohan komando Pimpinan.

“Prajurit yang menjadi tumbal teroris OPM karena kelemahan komando pimpinan dalam menangani separatisme Papua,” kata Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin kepada redaksi www.suaranasional.com, Senin (17/4/2023).

Kata Khozinudin, narasi yang digaungkan negara biasa-biasa saja. Seolah, sejumlah darah kusuma bangsa yang ditumpahkan oleh teroris OPM tak ada nilainya.

Densus 88 juga tak segera dikirim ke Papua. Ketimbang menembak mati orang dengan status terduga, lebih baik di terjunkan ke medan perang di Papua untuk memburu teroris OPM hidup atau mati.

Menkopolhukam juga belum bersuara. Atau jangan-jangan akan kembali beretorika soal pendekatan ‘Smart Power’ sambil menunggui satu per satu prajurit TNI tewas diburu OPM?

Kata Khozinudin, Penjelasan Kapuspen TNI tentang korban hanya 1, TNI tidak akan mundur, cuaca buruk, hingga operasi untuk penyelamatan pilot Susi Air, tidak dapat mengkompensasi rasa sedih dan kehilangan prajurit TNI yang gugur.

“Statement ini, juga mengkonfirmasi lemahnya komando pimpinan sehingga prajurit akhirnya menjadi korban. Apalagi, ungkapan ‘Akan Melakukan Evaluasi Mendalam Operasi di Papua’ benar-benar sulit dipahami nalar, karena evaluasi ini baru akan dilakukan secara mendalam setelah banyak korban prajurit TNI yang secara berulang dibunuh Teroris OPM,” ungkapnya.

Kelemahan Komando Pimpinan ini, dapat dibaca dari beberapa hal di antaranya:

Pertama, Pimpinan TNI telah gagal mengidentifikasi masalah yang terjadi di Papua. Faktanya, di Papua terjadi masalah gangguan keamanan, pemberontakan dan separatisme yang bertujuan memisahkan diri dan membentuk negara baru, melalui aktivitas fisik dan senjata.

Jadi, isunya bukan isu penegakan hukum, melainkan isu pemberontakan yang harus diselesaikan dengan perang yang terukur. Bukan dengan mengintai, mengendap, kemudian menangkap dan membawanya ke meja hijau.

“Pendekatan keliru ini, menyebabkan prajurit TNI yang dilatih untuk berperang, menjadi mesin pembunuh, berubah menjadi polisi cupu yang tak boleh menyerang musuh. Pada titik inilah, mengerahkan prajurit TNI ke Papua, sama saja dengan setor nyawa. Karena prajurit, saat menggunakan senjata dan aktif menyerang, dihantui dengan ancaman melanggar HAM dan makian dari atasan,” paparnya

Kedua, toritas politik sebagai user TNI, yakni Panglima Tertinggi TNI, Presiden Jokowi hanya mengeksploitasi isu Papua untuk kepentingan elektabilitas dan agar dianggap ‘Good Boy’ oleh dunia internasional, Amerika dan barat, dengan membiarkan rakyatnya, baik sipil, militer dan TNI, dibunuh oleh Teroris OPM satu per satu.

“Tanggungjawab tertinggi ada pada Presiden, untuk menjaga setiap nyawa dan melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Presiden terbukti gagal menyelesaikan isu separatisme Papua, dengan tetap membiarkan Papua diselesaikan dengan pendekatan penegakkan hukum yang menumbalkan prajurit TNI, bukan dengan pendekatan perang yang terukur dan terarah, dengan target menjaga kedaulatan negara dari rongrongan teroris separatisme Papua,” tegasnya.

Ketiga, sulitnya menghimpun empati publik agar bergegas menyelesaikan persoalan Papua. Karena sikap ambigu rezim, yang keras pada ulama dengan dalih melakukan terorisme, menggunakan Densus 88 yang semestinya alat penegak hukum namun telah berubah menjadi mesin pembunuh.

2 Terduga teroris di Lampung yang tewas oleh Densus 88 mengkonfirnasi, polisi telah menggunakan pendekatan perang pada isu terorisme di Lampung, sementara TNI justru menggunakan pendekatan penegakkan hukum di Papua. Ini kenapa bisa kebolak balik?

“Semestinya, Densus 88 yang beringas, tak peduli HAM HEM HOM, dikirim ke Papua untuk berperang melawan OPM. Bukan malah memburu ulama berdalih memerangi terorisme,” paparnya.

Kalau masalah Papua ini ditangani dengan pendekatan yang seperti ini, penulis khawatir akan banyak ‘tumbal prajurit’ yang gugur menjadi korban OPM hanya karena tidak jelasnya komando pimpinan.

“Indonesia butuh pemimpin dan kepemimpinan yang tangguh, bukan kepemimpinan jongos yang tunduk pada ketiak Amerika, asing dan aseng,” pungkasnya.