Syariat Versus Sekuler

Disampaikan Oleh Yusuf Blegur

NKRI yang sekuler, meski menampilkan etalase Pancasila dan UUD 1945 terbukti gagal dan menuju kehancuran. Konsep memisahkan negara dari agama yang telah berlangsung lama, bukan hanya menjadikan kejahatan secara terstruktur dan sistematis yang telah memimpin negara. Lebih dari itu secara masif telah melakukan deIslamisasi di negeri yang muasal energinya dari Pekik Merdeka dan Takbir.

Hampir 78 tahun usia proklamasi kemerdekaan, sepanjang masa itu NKRI bersandar pada konsep sekulerisme. Hasilnya bisa dirasakan sampai sekarang, republik jauh dari kemaslahatan, meski Pancasila dan UUD 1945 kerap dijadikan nilai adiluhung dan diagung-agungkan. Sementara nilai-nilai dan ghiroh Islam yang menghidupkan nasionalisme dan patriotisme, harus terpinggirkan dalam pembangunan konstruksi Indonesia. Islam yang menjadi mainstream dan dominan dari motif, proses dan tujuan berdirinya negara bangsa Indonesia terpaksa terkucil demi alasan keberagaman dan pluralitas. Bumi nusantara yang mayoritas penduduknya umat Islam, secara terstruktur, sistematif dan masif mulai menanggalkan substansi dan esensi keIslamannya baik secara personal maupun komunal dalam sistem ketatanegaraan. Tergerus oleh ideologi produk pemikiran manusia seperti kapitalis dan komunis, Indonesia semakin mengokohkan keberadaan dan eksistensinya sebagai sub koordinat globalisme yang berwatak penghambaan pada materi. Agama, khususnya Islam oleh dunia barat dan kalangan atheis cenderung dianggap sebagai candu masyarakat, menghalangi kebebasan individu dan anti demokrasi serta menghambat prinsip-prinsip rasionalitas.

Menggunakan sistem politik yang memisahkan kehidupan negara dari agama, terbukti dan akan terus berlangsung lama, menyebabkan Indonesia tak mampu menghadirkan negara kesejahteraan. Alih-alih mewujudkan kemakmuran dan keaadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintahan dan tata kelola penyelenggaraan negara justu hanya mendatangkan mimpi buruk bagi kehidupan rakyat Indonesia terutama umat Islam. Kemudharatan jika tak mau disebut kebiadaban terus menonjol menyelimuti rakyat dalam pelbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama hanya menjadi status dan simbol, dipergunakan sebagai alat politik serta terus dieksploitasi demi kepentingan-kepentingan tertentu oleh para pemimpin maupun sebagian besar masyarakat. Amanat proklamasi kemerdekaan dan cita-cita para pendiri bangsa yang begitu mulia, terabaikan dan semakin terkubur oleh syahwat dunia. Berbangga diri dan angkuh memburu harta dan jabatan, menjadi karakter dan ciri khas dari para pegiat dan penggila hedonisme. Berabad-abad lamanya kehidupan kapitalisme dan komunisme melahirkan kejahatan kemanusiaan dan kemunduran peradaban manusia. Namun distorsi pemikiran dan moral itu semakin bertambah subur, membangun trah dan dinasti politik serta terus berkesinambungan dari rezim ke rezim dari generasi ke generasi.

Baca juga:  Pura-Pura Jadi Muhammadiyah

Seiring berlakunya otonomi daerah sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 22/99 yang membuka ruang berlakunya syariat Islam dalam kehidupan masyarakat. Meskipun memberi angin segar dan membawa harapan baru dengan kemunculan perda syariat di beberapa daerah, seperti Aceh, Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan Sumatera Barat. Antitesis kejumudan umat Islam pada praktek-praktek kapitalisme dan komunisme masih belum maksimal karena baru bisa dilaksanakan secara parsial. Syariat Islam utamanya dalam perda syariah belum bisa dilaksanakan secara integral holistik dalam wilayah NKRI. Selain lebih karena akomodasi kearifan lokal, politik elektoral dan ancaman kebhinnekaan. Penerapan syariat Islam baik dalam bentuk penerapan perda syariah maupun peraturan perundang- undangan yang jauh lebih tinggi dan luas, sering terbentur oleh maind set umat Islam sendiri. Faktor kebiasaan bersandar dan bergantung pada aturan negara yang mengadopsi sistem sekuler. Perpecahan umat Islam dalam soal khilafiah dan ubudiyah membuat kebanyakan umat Islam apatis dan apriori terhadap penerapan syariat Islam dalam negara. Secara internal umat Islam sering terjebak pada friksi aliran dan mahzab, sehingga realitas ini secara signifikan membonsai persatuan dan kekuatan umat Islam baik yang ada di Indonesia maupun korelasinya dengan muslim dunia.

Keislaman yang kering pada kekuatan iman dan aqidah dalam umat Islam sendiri, menyebabkan Islam menjadi seperti asing dan eksklufif, dianggap bertentangan dan melawan hukum negara, semakin menguatkan pelaksanaan syariat Islam bisa dilaksanakan secara kaffah dalam kehidupan individual dan institusional. Takut dianggap berseberangan dengan spirit persatuan dan kesatuan nasional, enggan mempelajari dan memahami Islam secara utuh, semakin paralel dengan upaya framing jahat dan stigma negatif para buzzer, haters dan influencer bayaran terhadap Islam. Kebangkitan politik umat Islam sering diterpa konspirasi penggembosan oleh narasi politik identitas, intoleran, radikal dan fundamental. Ideologi kapitalis dan komunis global selalu punya banyak cara dan senjata untuk melakukan deislamisasi di muka bumi.

Baca juga:  "Gagasan, Narasi dan Karya" Anies Baswedan (Bagian I)

Isu terorisme menjadi salah satu strategi primadona sekulerisasi, untuk menutupi kejayaan kembali umat Islam. Upaya dunia Barat blok kapitalis dan Timur blok komunis mengusung kampanye perdamian dunia, demokratisasi, HAM, lingkungan, kesetaraan gender, LGBT dlsb. Merupakan kamuflase dan manipulasi dari prox dan asimetris selain agresi, aneksasi dan kolonialisasi modern yang diperhalus. Di tengah kekacauan dunia akibat perang, eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa, Kapitalitalime dan komunisme global yang pada akhirnya telah menjadi induk dari liberalisasi dan sekulerasi, sejatinya telah berhadapan dengan Islam yang telah menjadi problem solving peradaban umat manusia di dunia pada umumnya dan di Indonesia khususnya. Kini, umat Islam di seluruh Indonesia seiring waktu kegagalan konsep sekulerisme pada negara, mampukan melakukan rekonstruksi Indonesia?. Terlebih ketika situasi dan kondisi negara diambang kehancuran, akankah ada kesadaran dan kebangkitan umat Islam saat momentum pertarungan terjadi antara syariat versus sekuler?.

Wallahu a’lam bishawab.

Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan.

Bekasi Kota Patriot.
23 Maret 2023/1 Ramadhan 1444 H.