Legitimasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) jatuh dengan terbongkarnya berbagai lembaga negara yang terlibat perampokan uang rakyat. Keluarga para pejabat memamerkan kekayaan yang dimiliki tanpa ada kejelasan sumber yang didapat.
“lembaga-lembaga negara, bergelimang dalam dosa yang sama: perampokan duit rakyat mercilessly ketika sebagian rakyat masih tidur dengan perut kosong. Dengan demikian, pemerintahan Jokowi kehilangan fondasi moril, yang berujung pada hilangnya legitimasi,” kata Penasihat Institute for Democracy Education (IDe) Smith Alhadar kepada redaksi www.suaranasional.com, Senin (13/3/2023).
Menurut Smith, tak ada waktu dan kesempatan lagi untuk membangun kembali dari nol. Karena itu, tidak mungkin lagi pemerintah bisa memperpanjang masa jabatan presiden. Isu itu kini menjadi isu ‘asusila’.
“Kalau kemarin gagasan itu bersifat politis, hari ini bergeser menjadi isu moralitas. Dus, pilpres akan dilaksanakan sesuai jadwal, 14 Februari 2024. Gempa itu telah mengamputasi tangan pemerintah untuk ikut bermain. Legitimasinya telah lenyap tersapu angin gurun,” tegasnya.
“Berakhirnya” pemerintahan Jokowi tentu mengubah permainan di lapangan. Kecuali NasDem, semua parpol pendukung pemerintah melemah. Mereka semua, yang dulu bangga sebagai pendukung Jokowi, kini bakal anak ayam kehilangan induk. Kepercayaan diri mereka rontok. Sangat mungkin, mulai hari ini mereka akan melepaskan jubah Jokowi dari tubuh mereka.
Kata Smith, mungkin hanya PDI-P, PKB, dan Gerindra yang relatif masih bisa menjaga pendukung loyalnya, tapi tak lagi bisa berharap pada suara simpatisan Jokowi yang hilang. Gempa itu juga menggerus kepercayaan diri mereka yang diperlukan untuk bermanuver di lapangan yang “baru” pasca Jokowi.
Situasi Golkar, PAN, dan PPP lebih parah. Parpol-parpol ini mengandalkan kekuatannya pada politik asosiasif dengan Jokowi, yang kini tak lagi “bernyawa”. Artinya, mereka kehilangan cantolan pada coattail effect (efek ekor jas) Jokowi.
Setelah Jokowi “hilang”, apa yang dapat mereka lakukan? Saat Jokowi masih powerful pun sebagian pendukung Golkar, PAN, dan PPP adalah simpatisan bakal capres Anies Baswedan. Setelah Jokowi pudar, oksigen yang mereka perlukan untuk bernapas ikut menipis.
Posisi Gerindra masih lebih baik daripada ketiga partai itu karena Prabowo punya pendukung loyal. Tapi sebagai bakal capres, daya tariknya ikut meredup. Pasalnya, belakangan ini Prabowo gencar mengasosiasikan dirinya dengan Jokowi, bahkan memuji pemerintahannya sukes besar yang akan dia tiru. Pujian yang tidak jujur itu kini menjadi variabel yang merugikannya ketika kubu Islam yang dulu mati-matian mendukungnya telah meninggalkannya. Apa boleh buat maksud hati memeluk gunung, apa daya gunung meletus.
“Sebagai bakal capres, nilai jual Ganjar Pranowo pun anjlok ketika pasar politiknya bubar. Dia ada golden boy Jokowi yang tidak menyembunyikan asosiasinya dengan presiden yang dia “banggakan” itu. Sampai-sampai ia ikut mengamplifikasi isu bahaya intoleran dan radikalisme kepada kubu oposisi yang bisa jadi — sebagai akibat Jokowi yang kini berlumuran noda — simpati kepada mereka meningkat. Ganjar, yang sejak jauh hari menegaskan akan meneruskan kebijakan dan program pembangunan Jokowi, tak mungkin dapat mengubah posisinya saat ini,” tegasnya.