Makin Bobrok Institusi Keuangan di Era Sri Mulyani

Oleh: Agustinus Edy Kristianto

Gara-gara ulah satu pengkhianat (Rafael Family), punggawa keuangan negara bersedih dan terluka akibat pemberitaan saat ini. Padahal—secara kedalaman faktual (pinjam istilah stafsus menkeu)—masih banyak jajaran pajak yang jujur, berintegritas dst.

“Wong, kita gak ngapa-ngapain. Kita gak berbuat salah, kok. Jadi gak boleh kalian kalah, ya,” kata Menkeu kepada para pegawai pajak di Solo, beberapa hari lalu, seperti saya lihat di akun IG-nya.

Klub moge orang pajak sudah dibubarkan. Dirjen Pajak sudah ditanya langsung oleh Menkeu dari mana asal kekayaannya dan dijawab dari kenaikan harga pasar tanah dan bangunan miliknya. Menkeu pun bilang ia yakin dan percaya kata si Dirjen Pajak tersebut.

Sebanyak 13 ribuan orang Kemenkeu yang belum lapor kekayaan (LHKPN) pun ditunggu sampai 31 Maret 2023—batas akhir di KPK.

Korban D sudah dikunjungi. Dandy diproses hukum. Rafael diperiksa oleh Irjen, KPK dsb. Ia pun sudah mengirimkan surat resmi mengundurkan diri sebagai PNS.

Kejadian ini akan segera dilupakan—-seperti biasanya. Standar simpulannya: jadi momentum perbaikan.

Selesai.

Bisnis akan berjalan lagi seperti biasanya.

***
Kenapa tak dipahami bahwa ini bukan sekadar persoalan “yakin atau tidak yakin”, “kedalaman faktual atau kedangkalan faktual”, “punggawa keuangan kalah atau menang”, “batas waktu pelaporan LHKPN”, dst.

Ini masalah penting: keadilan, integritas pemimpin, dan sistem good governance. Timbul sentimen di masyarakat yang memandang ketiga hal itu absen sekarang.

Anda mau pakai buzzer atau rilis sampai berbusa-busa pun, sentimen itu tetap ada. Bahkan segala cerita antiklimaks itu justru berpotensi melindungi sumber masalah yang sesungguhnya dan mengobrak-abrik rasa keadilan masyarakat.

Mari kita simak.

***
Punggawa keuangan negara yang sesungguhnya adalah wajib pajak. Jangan dibalik. Selama Covid-19 lalu, wajib pajak yang menyangga keuangan negara—bukan pemungutnya!

Susah-payah, dalam kondisi ekonomi sulit pun, WP tetap diburu pajak. Tapi tak pernah sekalipun kita dengar ada pejabat dipotong penghasilannya selama Covid-19. Gaji, fasilitas, tukin utuh diterima. Tambah kaya mereka.

Baca juga:  Sebaiknya Masyarakat Menunda Bayar Pajak, Sampai Ada Tindakan Bebersih di Kemenkeu

Mengapa orang geram dengan aksi pamer kekayaan pejabat, karena awam merasa pejabat itu digaji dari keringat masyarakat. Padahal Menkeu bilang kalau mau kaya jangan kerja di Kemenkeu. Kemenkeu bukan tempat untuk menumpuk harta. Tapi kedalaman faktualnya ternyata berkebalikan: mereka kaya. Itu menyakitkan. Kata dan perbuatan beda rel!

Masyarakat cukup bijak dan cerdas untuk bisa memilah tak semua PNS digeneralisir sebagai bajingan. Tahun 2018, Menkeu pernah menyindir “tunjangan guru besar tapi tak berkualitas”. Apakah itu bukan generalisasi? Apakah itu tidak menyakitkan para guru di pelosok yang susah-payah bekerja? Lagipula hampir tidak pernah kita dengar ada guru pamer Rubicon. Lantas Tukin pejabat Kemenkeu yang sampai ratusan juta itu apa bisa kita bilang “besar tapi tak berkualitas” juga?

Awam paham ikan busuk mulai dari kepala. Tak usah banyak retorika, periksa saja dulu harta petinggi Kemenkeu (Per 2021, Menkeu Rp58 miliar, Wamenkeu Rp78 miliar, Dirjen Anggaran Rp25 miliar, Dirjen Kekayaan Negara Rp53 miliar, Dirjen Bea Cukai Rp43 miliar dst).

Tak cukup mengandalkan “yakin dan percaya” atau formalitas belaka, tapi sekarang masyarakat cukup tahu untuk mempertanyakan apa laporan kekayaan itu bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Lebih jauh lagi, masyarakat perlu tahu banyak hal detail. Tak sekadar penuhi kewajiban isi form. Apakah ada afiliasi/konflik kepentingan dan hubungan lain yang berpotensi KKN antara menteri dan dirjen, misalnya; tak cukup hanya mengetahui LHKPN tapi perlu diungkap juga cashflow sehari-hari kehidupan para pejabat dan keluarganya—jika perlu sampai kita tahu merek parfum apa yang mereka beli.

Ungkapkan juga jika ada penghasilan lain dari rangkap jabatan. Misalnya, Wamenkeu itu merangkap jabatan sebagai Komisioner OJK (ex-officio), Komisaris PLN (sebelumnya Komisaris Pertamina sejak 2016).

Berapa gaji dan tantiem yang didapat (saya dengar informasi tantiem di BUMN kelas 1 bisa mencapai Rp20 miliaran). Apakah tantiem itu dimakan sendiri atau disalurkan juga untuk ngangon para pendukung politiknya; apa pula alasan pejabat itu bisa merangkap jabatan, yang berarti rangkap penghasilan juga, apa istimewanya mereka, bagaimana kinerjanya—jangan-jangan mereka juga sering absen rapat sehingga ketika ditanya penegak hukum saat ada kasus bisa berkilah bahwa mereka tak ikut rapat itu, sementara penghasilan utuh diterima.

Baca juga:  Menteri Perempuan yang Pintar Ngutang, Tidak Punya Rasa Malu?

Apa pula membaiknya kehidupan masyarakat setelah pejabat itu rangkap jabatan? Nyatanya, pejabat Kemenkeu rangkap di Pertamina pun, BBM tetap naik, BUMN-nya juga gak bersih-bersih amat. Apa gunanya barang itu coba?

Logika saja. Katanya dunia resesi, negara lagi susah, tetapi pejabat berpenghasilan sebesar itu dari rangkap-merangkap jabatan.

Makanya kita itu tak butuh presiden yang narsis difoto sambil makan nasi goreng IKN tapi diperlukan presiden yang tahu diri dan peka untuk ambil inisiatif, setidaknya, merevisi perpres tukin pajak itu supaya lebih adil. Pangkaslah penghasilan petinggi-petinggi itu semaksimal mungkin, berikan insentif lebih banyak untuk yang pegawai kecil—terutama di pelosok.

Kita juga butuh eksekutif dan legislatif yang peka untuk mendorong pembuktian terbalik ‘murni’ diterapkan. Kenapa saya bilang ‘murni’? Sebab, pembuktian terbalik yang ada sekarang seperti di Pasal 37 UU Tipikor sifatnya masih terbatas, dalam arti hanya berlaku jika ada gratifikasi yang berkaitan dengan suap saja, dan masih banyak celah untuk membela diri dengan alasan HAM, diskriminatif, non-retroaktif, dsb.

Intinya kita perlu aturan yang lebih ketat mengatur gerak-gerik pejabat dan keluarganya supaya tidak bisa belagu bermodal jabatan publik.

Kita tak bisa cuma mengandalkan Inspektorat Jenderal—yang berpotensi mandul karena jeruk makan jeruk—untuk mengawasi pejabat tetapi perlu lembaga pengawasan eksternal juga sebagai kontrol.

Itu namanya membangun nilai, integritas, dan sistem bukan mengandalkan “yakin dan percaya” saja. Bukan pula soal punggawa “jangan sampai kalah”.

Tapi silakan saja para pejabat itu membangun pertahanan diri dan tetap merasa benar, suatu waktu suara umum akan menggilas mereka satu per satu