Biaya Ibadah Haji Berpotensi Tetap Gelap Gulita

Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)
Panitia Kerja (Panja) Komisi VIII DPR dan pemerintah akhirnya sepakat perihal biaya perjalanan ibadah haji (BIPIH) atau biaya yang dibayar langsung oleh calon jemaah haji rata-rata sebesar Rp49,8 juta (Rp49.812.700,26) per orang.

Angka itu setara dengan 55,3% dari total rata-rata biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) per orang tahun 2023 untuk jemaah haji reguler yang mencapai Rp90.050.637. Sementara, 44,7 persen sisanya ditanggung oleh dana nilai manfaat sebesar Rp40.237.937 juta

Apakah kerja Panja Komisi VIII sudah kerja maksimal atau asal asalan ketika mereka hanya membahas di ruang kerjanya tanpa chek kebenaran faktual dari angka anggaran yang berpotensi bermuatan adanya mark up dan mel ( pungutan liar ).

Ribut soal Mark up dan mel biaya gelang jamaah haji hanya kebetulan. Itu hanya salah satu item yang kecil dalam ajuan anggaran usulan efisiensi dari Kemenag sebesar Rp. 5.541.992.500.

Harga Rp. 5000 / gelang menjadi Rp. 30.000, sudah cukup rumit dan diketahui karena kebetulan gelang tersebut buatan Jepara dan salah satu anggota Komisi VIII H. Abdul Wahid dari Jepara, sehingga diketahui dengan persis markup dan pungutan liar yang terjadi.

Panja Komisi VIII bisa tetap gelap untuk memahami anggaran efisiensi yang mereka terima sebagai kertas kerjanya:

1. “Biaya tumpah tindih dan pembayaran ganda antara Tupoksi PHU dengan beban APBN dengan komponen BPIH beban nilai manfaat Rp. 135.685.615.266 terdiri :”

– Biaya pelayanan umum di Arab Saudi sebesar : Rp. 10.084.762.101.
– Biaya penyelenggaraan ibadah haji dalan negeri : Rp. 23.343.999.289.
– Pelayanan umum di dalam negeri : Rp. 202.256.853.876

2. “Pengadaan gelang jemaah haji Rp. 5.541.992.500. _”Marka up sebagian telah bisa di bongkar.”

3. “Komponen biaya yang tidak nyata dan tidak pasti peruntukan Rp. 85.235.222.000 terdiri dari :”

Akomodasi Rp. 65.235.222.200
– Akomodasi dasi Mekah – dan akomodasi Madinah masing masing 1%.
– Pelayanan umum di dalam negeri, berupa cadangan anggaran penyelenggaraan ibadah haji Rp.20.000.000.000.

4. “Kegiatan baru tahun 2023, padahal kegiatan penyelenggaraan ibadah haji tidak ada perubahan yang signifikan Rp. 33.564.563.385, terdiri dari:”

– Konsumsi ( biaya kelengkapan konsumsi di Mekah ) Rp.12.333.452.400
– Transportasi ( penerapan fast track ) Rp. 12.333.452.400
– Perlindungan ( pengadaan grafis identitas jemaah haji maintenance gelang jamaah haji) Rp 650.042.085
– Dokumen perjalanan ( distribusi koper dan perlengkapannya ) Rp. 2.355.082.000
– Pembinaan jemaah haji ( buku modul moderasi, manasik, modul fiqih dsn pengiriman) Rp. 5.892.534.000

Total 1- 4 Rp. 260.027.393.151..dari total biaya indirect cost – NM Rp. 5.985.387.189.369. Dikatakan ada potensi efisiensi 4.34%.

Angka diatas tertulis sebagai efisiensi, dan apakah itu angka sudah benar, jelas memerlukan penelusur ke objek secara cermat dan profesional. Apakah Panja Komisi VIII memiliki kemampuan tersebut ?

Kadang terasa menyesakkan hati anggaran diatas adalah bersentuhan dengan ibadah haji dan saat bersamaan masih tega adanya mark up dan mel ( pungutan liar ) dari setiap item anggaran untuk masing proyek yang dianggarkan.

Naiknya anggaran ibadah haji tidak lepas dari mental penyelenggara dan oknum dari kementerian agama yang bermental mencari keuntungan. Bahkan bukan mustahil dari carut marut uang ibadah haji yang Selama ini tidak jelas rimba penggunaan peruntukannya konon dipakai untuk proyek lain bersama dengan adanya pandemi Covid.

Panja Komisi VIII harus kerja keras sebelum masuk pembahasan pada tahap berikutnya. Kalau hanya dibahas dari ruangan kerja, tanpa pengecekan langsung ke masing yang menjadi objek proyeknya – penetapan biaya ibadah haji berpotensi akan tetap gelap gulita.