KPK sudah Berpolitik, Hukum Dijadikan Alat Melanggengkan Kekuasaan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah berpolitik di mana para politisi yang tersangkut kasus korupsi dijadikan posisi tawar untuk mengikuti penguasa.

“Menyimak keterangan Mahfud MD dan Denny Indrayana tentang pilpres dan KPK, tanpa ragu dan clear bahwa KPK sudah berpolitik. Ini warning yang tanpa sadar keluar dari istana,” kata pengamat sosial Memet Hakim kepada redaksi www.suaranasional.com, Kamis (2/2/2023).

KPK dibentuk karena Kejaksaan dan Kepolisian dianggap tidak mampu mengatasi masalah korupsi, artinya KPK dianggap penyelamat negara di bidang korupsi.

Kata Memet, masuknya Firli Bahuri sebagai ketua KPK yang penuh kontroversi saat itu dan bagaimana dia menyingkirkan staf dan para penyidik yang sedang menangani temannya sesama jendral polisi.

“Penyidik sekaligus salah satu Kasatgas Penyidik KPK, Novel Baswedan, juga mengakui terdapat tujuh Kasatgas Penyidik yang tak lolos tes yang digagas Firli Bahuri Cs. (Viva.co.id, Kamis, 20 Mei 2021 – 22:40 WIB). Jelas ini terkait dengan manuvernya sekarang untuk menjegal Anies,” paparnya.

Baca juga:  Beathor: Posisi Jokowi Punya Nilai Negatif di Pilpres 2024

Memet mempertanyakan kinerja KPK yang tidak menyelidiki kasus rekeninng gendut milik jenderal polisi, dugaan korupsi Gibran dan Kaesang.

“Jika mau fair, selidiki aja dulu kasus rekening gendut jendral polisi, kasus korupsi Gibran & Kaesang yang dilaporkan Ubedilah, kasus korupsi Jokowi (temuan BPK) saat jadi Walkot dan Gubernur DKI, kasus korupsi yang menyangkut Ahok saat jadi Gubernur DKI (ada 7 kasus) yang dudah lebih dulu masuk yang seharusnya menjadi prioritas KPK,” jelas Memet.

Menurut Memet, KPK salah besar jika mengincar Anies Baswedan yang sudah jelas prestasi penyelenggaraan Formula E diakui banyak pihak. Kalau mau kenapa tidak menyelidiki event motoGp di Mandalika yang didukung oleh BUMN dan Pemda setempat, sangat diyakini terjadi banyak kasus disana.

Firli sosok capim KPK sempat menjadi kontroversi lantaran muncul dugaan pelanggaran etik yang dilakukannya saat menjabat sebagai mantan Deputi Penindakan KPK. (Detik News 13.09.2019). Jadi memang Ketua KPK ini kebersihan tindakannya sangat diragukan

Baca juga:  Politikus Golkar Nilai Larang Ucapkan Selamat Natal, Sekolah Islam Ajarkan Radikalisme ke Anak

“Saya kira tidak ada lagi manfaatnya lagi jika KPK dipimpin oleh seorang pelacur hukum seperti ini. KPK rusak bisa merobohkan tatanan hukum di Indonesia ini. Relakah seorang Ketua KPK ini menghancurkan Indonesia ? Apakah masih dibutuhkan KPK seperti ini ? Silahkan jawab sendiri,” paparnya.

“Sepak terjang Ketua KPK yang bermain politik praktis bisa meluluh lantakkan tatanan hukum di negara ini ? Kenapa ? Seorang calon presiden akan dipaksakan jadi pesakitan oleh KPK, padahal capres inilah yg diharapkan dapat memperbaiki Indonesia. Artinya KPK tidak mau negara ini bersih dari korupsi. Nah sebenarnya KPK berpihak kemana ? Atau masihkah mampu berdiri tegak sesuai harapan rakyat,” pungkasnya.