Pembunuh Industri Gula Itu Ternyata Rafinasi

Sejak pabrik gula rafinasi diijinkan 1990 an, secara perlahan tapi pasti industri gula melemah. Kemenperin (2020) mencatat, terdapat 11 pabrik gula rafinasi dengan kapasitas terpasang 5,016 juta ton per tahun. Semua milik swasta. Dominasi cengkraman aseng makin kuat, sehingga industri gula & petani tebu terbunuh pelan2. Pabrik Gula bumn makin menurun perannya. Upaya lewat holding (Sugar Co) belum terlihat hasilnya.

Memang ada kecenderungan industri makanan/minuman terpenuhi kebutuhannya dengan impor raw sugar yang diolah kembali menjadi gula rafinasi dengan harga yang murah, akan tetapi petani di dalam negeri pelan-pelan mati, karena tidak mampu bersaing dengan murahnya gula impor. Petani di luar negeri senyum-senyum berbahagia.

Sebenarnya, jika kita bangkitkan petani, artinya pertahanan pangan kita semakin kuat, tapi jika industri makanan/minuman yang dprioritaskan, artinya kita semakin tergantung dari negara luar. Sebagai negara agraris dan ingin berdaulat penuh, tentu harusnya petani yang harus diutamakan.

Rina Oktabiani, Indef, (2015). Jumlah pabrik gula kita jauh lebih banyak ketika di masa penjajahan. Pada 1930, jumlah pabrik gula mencapai 1.799. Sementara pada 2012 jumlahnya tinggal 62. Hal ini sesuai dengan penjelasan Ditjen Industri Agro (2022), jumlah pabrik di Indonesia ada 62 pabrik, 43 PG BUMN dan 19 PG swasta.

Dirjen Perkebunan (2022) memprediksi total kebutuhan industri dan rumah tangga di Indonesia sekitar 7,3 juta ton termasuk 4,1 juta ton kebutuhan gula industri. Namun produksi gula nasional 2021 baru mencapai 2,35 juta ton yang terdiri dari produksi pabrik gula BUMN sebesar 1,06 juta ton dan pabrik gula swasta sebesar 1,29 juta ton.

Produksi tersebut dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi sebesar 3,2 juta ton, tapi masih terdapat kekurangan sebesar 850 ribu ton hanya untuk kebutuhan gula konsumsi saja. Sehingga, Indonesia masih harus mengimpor gula dari luar negeri hingga saat ini. Sisanya tentu impor, iklim seperti terlihat dipelihara agar kegiatan impor jalan terus.

Baca juga:  Sandiaga Seharusnya Minta Maaf Kepada Anies, Itu Fitnah

Upaya untuk menurunkan ketergantungan RI terhadap impor gula, sudah sejak lama digaungkan, tapi tidak ada hasilnya, yang ada impornya bertambah besar. Political will yang serius dari pemerintah memang belum terlihat, yang ada hanyalah upaya-upaya pemanis belaka, sehingga terlihat ada kegiatan menuju arah peningkatan produksi.

Kenapa industri gula semakin meredup ? Setidaknya ada 4 hal pokok yang menjadi alasan sbb :
1. Adanya pembangunan gula rafinasi, sehingga terjadi impor besar2an dan rutin.

2. Adanya keinginan pemerintah untuk menahan harga gula di pasar, dengan alasan melindungi konsumen

Butir 1 & 2 akhirnya industri gula dan importirnya dikuasai Aseng. Mereka tentu tidak ingin Indonesia menyetop impor gula, yang selama ini sudah memberikan keuntungan finansial

3. Secara teknis & orientasi kerja ada penurunan kualitas SDM

4. Ada pergeseran lahan dari lahan subur ke lahan tidak subur, akibat pembangunan perumahan karena ada pertambahan penduduk.

Awal mula dibentuknya pabrik gula rafinasi tahun 1990 an, sampai terbentuknya pabrik gula rafinasi sebanyak 11 pabrik, kapasitas produksinya mencapai 5 juta ton. Utilisasinya baru 65% atau terpakai sekitar 3 juta ton. Ini membuat hasrat impor terus menerus. Selain itu selalu digaungkan alasan adanya kekurangan kebutuhan gula industri yang berbeda kualitasnya dg gula konsumsi. Disinilah ketemunya birokrat, importir dan mungkin politisi bersama sama selingkuh, pelan tapi pasti untuk membunuh industri gula nasional dan petani tebu.

Lihatlah areal tanaman tebu semakin menyusut, jumlah pabrik semakin sedikit. Tidak jarang kebun dan pabrik beralih fungsi, bahkan lahannya disewakan. Padahal jaman Belanda (1930) Indonesia sempat jadi pengekpor terbesar di dunia.

Baca juga:  Umat Islam Tertidur

Komoditi gula bukan komoditi perdagangan biasa tapi komoditi strategis, akan tetapi *jika komoditi gula dianggap sebagai komoditi dagang biasa* tentu dapat memperlemah ketahanan negara.

Di negara maju sekalipun sektor pertanian selalu diperhatikan dan dikaitkan dengan ketahanan negara. Dibawah kementerian BUMN diharapkan manisnya gula ini diperhatikan, dan dikembangkan lebih jauh menjadi industri gula yang kuat bahkan mendi ekportir kelak.

Kuatnya cengkeraman aseng sangat mendominasi merosotnya produksi gula. Untuk membangkitkan kejayaan gula, Indonesia masih punya peluang yang besar yakni lahan yang cukup, SDM/petani tersedia & masih adanya nalai penelitian gula. Untuk itu perlu niat yang kuat dan berani memutuskan kebijakan yang berpihak pada petani & BUMN.

Persoalan gula serupa dengan masalah komoditi pertanian lainnya. *Selama kementerian perdagangan, perindustrian, pertanian, keuangan dan BUMN tidak punya niat kuat memperhatikan petani, ya jangan terlalu berharap, negara kita menjadi kuat*

Sebagai “praktisi & pemegang hak cipta metoda agronomi pada tanaman tebu” di Univ. Padjadjaran penulis meyakini sekali bahwa SDM kita masih cukup, hanya perlu ditingkatkan kapasitasnya dan perlu dibangun kembali orientasi kerjanya. Merupakan tanggung jawab pemerintah sepenuhnya untuk memulihkan iklim usaha di industri gula.

Untuk itu diperlukan kebijakan agar seluruh pabrik rafinasi dan impornya dikuasai bumn seluruhnya, agar bumn punya kekuatan menata kembali industri gula ini*. Pabrik gula swasta non rafinasi beserta kebunnya dapat dijadikan mitra dan menjadi bench mark keberhasilan bumn. Jika komoditi strategis ini dikuasai swasta seluruhnya tinggal menunggu semakin hancur saja petaninya.

Bandung, 26 Desember 2022
Memet Hakim
Pengamat Sosial
Dosen LB UNPAD