Leluhur Keraton Surakarta Marah

Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Merah Putih)

KITA masih ingat Presiden Joko Widodo telah ngunduh mantu lengkap dengan simbol pakaian keraton, dan bahkan, anaknya Kaesang Pangarep memakai Kuluk Raja. Padahal, dalam adat keraton mereka tidak lebih hanya sebagai sebagai Kawulo (rakyat).

Situasinya menjadi risi karena terkesan kurang menghargai dan menghormati adat keraton yang harus dijaga dan saling menghormati.

Dalam adat-istiadat Jawa bahwa keraton bukan hanya sebagai satu warisan sejarah dan simbol serta sumber budaya. Masyarakat Jawa itu tentu masih dipercayai memiliki misteri spiritual, karena keraton di Jawa memang sangat dekat dan lekat dengan alam misteri.

Beberapa hari yang lalu juga terjadi penganiayaan menimpa Kerabat Keraton Kasunanan Solo, KRA Christophorus Aditiyas Suryo Admojonegoro, Sabtu (17/12/2022). Beruntun ada kejadian pencuri masuk keraton berawal saat Abdi Dalem Keraton Solo Sri Atun (50), mengaku bertemu dengan sosok diduga pencuri pada Senin (19/12/2022).

Saya (penjaga kraton Mangkunegaran – tidak berkenan disebut namanya) juga mengalami kejadian aneh dan nyata.… para leluhur sudah marah dan membuktikan kemarahanya dan itu nyata….

Dalam sebuah acara di gedung DPRD Bumi Sokawati Sragen ada hiburan peragaan busana… awalnya acara berjalan lancar tetapi ketika peragaan busana yang dipakai Jokowi mantu dan anaknya memakai kuluk itu akan ditampilkan oleh seorang peragawati, tiba-tiba yang bersangkutan kesurupan maka acara peragaan busana Jokowi saat mantu dibatalkan…

Baca juga:  Anies Sibuk Seakan Tiada TGUPP

Dari jam 2 siang sampai jam 8 malam sudah diupayakan dan disembuhkan oleh dukun kiai paranormal dan sampai diruqyah si peragawati tersebut tidak bisa dipulihkan kondisinya… akhirnya dibawa pulang ke Solo dan kebetulan anak itu putri teman istri saya… akhirnya saya dari keraton meluncur ke rumah anak tersebut.

Kami berdialog dan saya tanyakan kronologi kejadiannya… ternyata beliau adalah pangeran Sokawati atau HB. I. Beliau tanya kowe sopo kemudian saya jawab, dalem wayah eyang dengan mengeluarkan samir dan saya sampirkan di tubuh anak itu.

Saya berdialog cukup lama… dengan ekspresi kemarahan anak itu mendesis dengan penuh kemarahan. Setelah berdialog, akhirnya saya mohon Eyang berkenan melepaskan anak meniko (ini) kasihan. Akhirnya beliau jengkar tapi tetap dalam kondisi masih marah dan anak itu normal kembali.

Kemudian saya kembali ke keraton ternyata situasi di keraton sudah banyak polisi dan massa. Karena selesai bentrok pintu ditutup, akhirnya saya suruh buka kembali. Saya masuk keraton dengan perasaan sedih, berdoa memohon kepada Allah semoga ke depan tidak terjadi apa-apa, paska ada pejabat yang coba-coba berbuat sembrono di keraton.

Baca juga:  Kematian Mas Didi Kempot, Apa yang Bisa Kita Ambil Hikmah?

Jagalah unggah-ungguh di petilasan para raja, jangan bersikap seenaknya, itu busana kerajaan bukan untuk mainan, dan kuluk raja dipakai bukan pada tempatnya dengan sembrono.

Para Raja atau keraton memiliki wewaler sakral yang harus dihormati, bukan lelaku syirik karena beliau-beliau juga telah melewati lelaku mendekatkan diri dan berjuang melawan Belanda, untuk menjaga, membela, dan menaungi rakyatnya semata karena Allah SWT.

Jangan diulangi meremehkan adat istiadat keraton dengan kesakralannya, sekalipun saat ini tinggal sebagai simbol sejarah dan pusat budaya yang harus tetap dijaga saling menghormati.

Kita semua sebagai pejuang bangsa dan negara tercinta senantiasa terus tetap memohon kepada Allah SWT, supaya Nusantara bangkit kembali yang saat ini sedang menerima cobaan besar dari kerusakan dan munculnya pemimpin yang kurang peduli dengan rakyatnya.

Kebangkitan insya’ Allah akan datang atas Ridho Allah SWT. (*)