Budayawan: Pemenang Pemilu 2024 Tetap Proxy Oligarki

Proxy oligarki tetap menjadi pemenang pemilu 2024 karena sistem penyelenggaraan pemilu sangat liberal dan jauh dari nilai-nilai Pancasila yang dianut Bangsa Indonesia.

“Pemenang pemilu 2024 yang akan datang, tetaplah proxy oligarki. Kalaupun ada yang bilang sosok kandidat “A” anti oligarki, masihkah percaya? Hanya keledai yang terperosok dua kali di lobang yang sama,” kata Budayawan Jliteng Suparman dalam artikel berjudul “Apakah Pemilu Mendatang Layak Dipercaya?” yang dikirim ke redaksi www.suaranasional.com, Kamis (8/12/2022).

Dalam menghadapi persoalan ini, Jlitheng mengusulkan revolusi dengan pergantian rezim secara ekstra konstitusioan.

“Pertanyaan mendasarnya, masihkah Pemilu yang akan datang layak dipercaya? Terus solusinya gimana? Tidak ada jalan lain selain pergantian rejim secara ekstra konstitusional, revolusi. Hanya revolusi yang dapat merebut dan menutup akses oligarki terhadap struktur, infrastruktur dan suprastruktur negara agar kemudian kesemuanya kembali seutuhnya ke tangan rakyat,” papar Jlitheng.

Proxy oligarki tetap menjadi pemenang Pemilu 2024, kata Jlitheng karena era Reformasi semakin nyata sistem demokrasi liberal menggilas habis prinsip musyawarah dan perwakilan. Walaupun masih ada Lembaga yang menggunakan kata Perwakilan (Dewan Perwakilan Rakyat), namun pada prakteknya sama sekali tidak ada keterwakilan rakyat.

“Trias politika yang semestinya menjadi alat kepentingan kerakyatan, berubah total menjadi alat kepentingan kekuasaan/penguasa dan kapitalis. Rejim Indonesia berubah menjadi oligarkis perpaduan dua kartel politik dan ekonomi. Rejim Reformasi sudah bukan lagi rejim demokrasi melainkan rejim oligarki “penguasa yang pengusaha”, dalam istilah kerennya disebut “rejim senyawa oligarki politik dan pemburu rente”,” papar Jlitheng.

Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai representasi praktek demokrasi dalam memilih orang-orang yang harus duduk di kursi penyelenggara negara, semakin jauh dari semangat Pancasila dengan prinsip musyawarahnya.

“Penyelenggaraan Pemilu seutuhnya menganut sistem demokrasi liberal dengan prinsip one man one vote. Ekses negatifnya yang justru menguat sehingga praktek penyelenggaraan Pemilu kemudian memperlihatkan demokrasi tiga wajah: elektoralisme, prosedural dan transaksional,” paparnya.

Jlitheng mengatakan, praktek demokrasi liberal dengan kelindan elektoralisme, prosedural, dan transaksional menjadi pintu bagi kapitalis, atau akrab disebut cukong, untuk bermain. Para cukong dalam dan luar negeri berkomplot membentuk oligarki. Dengan kekuatan uangnya, oligarki bukan hanya medukung modal bagi para calon, namun juga membeli seluruh infrasruktur Pemilu.

Infrastruktur pemilu, seperti: Parpol, KPU, Bawaslu, perusahaan survei, media massa, aparat keamanan (TNI/Polri), dan lembaga penegak hukum lainnya, semuanya berada di bawah kendali oligarki dalam mengatur jalannya pemilu hingga merekayasa pemenang.

Dari alur penyelenggaraan pemilu muaranya sangat jelas dan tak terbantahkan lagi bahwa rejim pemerintahan Indonesia berada di bawah bayang-bayang kendali oligarki. Sistem, struktur dan kinerja kelembagaan negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif tidak bisa lepas dari bayang-bayang kepentingan oligarki.

Campur tangan oligarki di dalam penentuan komposisi DPR, komposisi kabinet, dan pemegang jabatan strategis lembaga-lembaga negara mustahil dapat dihindari. Dari itu maka hak prerogatif Presiden hanya tertera dalam kalimat undang-undang, pada prakteknya dalam penyusunan kabinet Presiden tak mampu mengelak dari tekanan dan campur tangan parpol pengusung dan oligarki. Bagi-bagi kursi.

“Sudah tidak bisa dipungkiri lagi bahwa seluruh sistem dan struktur pemerintahan kesemuanya berada di bawah hegemoni oligarki. Kebijakan negara dalam bentuk undang-undang, program pembangunan, penegakan hukum dan sebagainya nyaris kesemuanya niscaya cenderung diperuntukkan melayani kepentingan oligarki. Teramat kecil atau bahkan tertutup sama sekali peluang rejim pemerintahan Indonesia untuk melayani kepentingan rakyat maupun negara. Itulah pasal yang melatari munculnya ungkapan “nasib rakyat digadaikan, nasib negara diperjual-belikan”,” tegas Jlitheng.