Oleh: Syafril Sjofyan *)
Judul tulisan ini diambil dari salah satu poster yang dibawa oleh emak-emak dalam unjuk rasa di patung kuda (10/10). Saya tergelitik menulis tentang mala petaka di stadion Kanjuruhan. Kota Malang Indonesia. Korban nyawa sia-sia 131 orang. Tadinya saya tidak ingin menulis. Karena sudah banyak sekali berita tentang kejadian yang sangat sedih dan mencekam tersebut.
Tragedi yang tragis. Berita bertebaran di sosmed, IG, Twitter, Facebook. Begitu juga di media mainstream TV dan pemberitaan media baik lokal, nasional dan internasional. Bahkan media dunia yang ternama seperti The Washinton Post dan New York Times menulis. Salah Polisi!.
Kemaren polisi Indonesia mulai offensive. Ratusan korban meninggal dunia dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan bukan karena asap gas air mata yang ditembakkan oleh gas air mata. Penjelasan Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo, dari keterangan ahli dan juga dokter spesialis penyakit dalam, paru, THT dan penyakit mata yang menangani korban meninggal dunia. Penyebab kematian bukan gas air mata, tapi penyebab kematian adalah kekurangan oksigen. Ditambah lagi peluru gas air mata sudah kadaluarsa, sudah lemah fungsinya. Katanya. Wow pak Polisi mulai bela diri.
Saya kembali sedih. Tak terasa meneteskan air mata lagi. Mendengar alasan tersebut. Lebaykah?. Beberapa hari setelah tragedi. Setiap mendengar kisah para korban yang selamat bercerita di wawancara TV dan channel Youtube. Mata tua ini. Sering meneteskan air mata. Emphaty terhadap kesedihan mereka yang kehilangan buah hati. Sebagian adalah penopang kehidupan keluarga.
Betul Gas Air Mata tidak berakibat kematian. Semua penonton bola dipastikan belum pernah merasakan semburan gas air mata. Kecuali para demonstran/aktivis. Gas yang dilarang oleh aturan FIFA. Semburan Gas Air Mata yang bertubi-tubi. Menyebabkan kepanikan terjadi. Semua berusaha berlari keluar dengan satu tujuan menghindari dari gas yang membuat pedih mata dan sesak nafas.
Seandainya tidak ada semburan gas airmata celaka tersebut. Mereka akan sabar dan teratur keluar. Artinya tidak akan terjadi tragedi kelam yang sangat menyedihkan. Walau Arema jagoan mereka kalah. Mereka akan sampai kembali dirumah bersama keluarga, melanjutkan perjuangan hidup keluarga. Kekecewaan kalah akan hilang. Bola itu bundar. Bisa kembali menang.
Terus terang saya “marah” terhadap Presiden Jokowi yang ketika berkunjung ke Stadion Kanjuruhan. Hanya berkomentar pintu terkunci dan tangga keluar yang curam. Tidak menyinggung sama sekali tentang tembakan Gas Air Mata yang membuat Panik.
Tentu ini jadi “arahan” bagi para ahli dan polisi. Gas air mata tidak mematikan. Ternyata dan ternyata. Oh. Emphaty pemimpin terhadap derita rakyat yang sedang berduka. Sangatlah jauh. Moral?. Dimana kah?. Hilang!. Pimpinan PSSI “menghindar” dengan temuan botol minuman keras.
Tidak satupun merasa bersalah. Gentelman untuk mundur. Walaupun desakan bertubi-tubi. Negara Indonesia tercinta. Satria bermoral cuma di kisah perwayangan?. Pemimpin di Negara Jepang, Korea dan lainnya. Gentel mundur dari jabatannya jika terjadi kesalahan. Apalagi mengakibatkan hilangnya nyawa manusia. Jelas mereka itu bukan di negeri wayang. Mereka Satria di Negara mereka.
Saya juga “marah dan sedih” atas sementara pemimpin yang bangga karena FIFA “tidak menghukum” PSSI. Pada hal Gas Air Mata yang dilarang FIFA telah membuat panik “membunuh” 131 nyawa secara sadis.
Saya juga “marah” terhadap Dahlan Iskan dalam tulisannya “seakan memuja” keberhasilan Presiden Jokowi untuk melobby FIFA tidak memberikan sanksi sebagai prestasi. Eling mas DI. Ini menyangkut 131 nyawa rakyat lho. Kembali air mata saya menetes menutup tulisan ini.
Bandung, 11 Oktober 2022
*) Pengamat Kebijakan Publik, Aktivis 77-78, Sekjen FKP2B