Hindari Ewuh Pakewuh, Tindakan Hukum Terhadap Jokowi Harus Objektif (1)

Oleh: Damai Hari Lubis (Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212)

Pengantar artikel : Tulisan ini spesifik, hanya mengupas kajian hukum pada pokok objek perkara yang sesuatunya berhubungan langsung dengan diri sosok Jokowi selaku Preiseden RI. Terkait dan kebijakan dari dirinya dalam framing yang berhubungan dengan langkah – langkah hukum dari sisi sebagai seorang Pejabat Penyelenggara Tertinggi di Negara RI yang tentunya disertai data emepris.

Sementara dalam hubungannya yang tidak langsung, walau tetap memiliki kualitas serta kausalitas hukum karena dirinya sebagai Presiden RI selaku Kepala Negara, tentunya mutatis dan mutandis, tidak terlepas pertanggung jawabannya kelak dari sisi hukum ketatanegaraan, namun di luar semua peristiwa hukum di luar perkara antara kepentingan pribadi dan atau individual yang menyangkut ( kepentingan keperdataan ) atau urusan terkait dan berhubungan dengan harta benda Jokowi atau privaterecht, namun jika termasuk kebijakan keperdataan yang berada dalam ruang lingkup PTUN dan MK/ Mahkamah Konstitusi, maka penegakan hukum serta kebijakan tetap melekat kepada diri seorang Jokowi oleh sebab hukum ada terdapat hubungan hukumnya pada status penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh aparatur eksekutif negara selaku bawahannya, maka oleh sebab Presiden RI yang nota bene juga selaku penyelenggara negara, yang secara langsung, maupun tidak langsung khusus dan atau secara umum, jika ada keterlibatan intervensi Jokowi selaku Presiden, tentu dapat disertakan petanggung jawabannya, jika benar secara subtansial memiliki kualitas hukum, inipun jika penulis atau publik memiliki data dan faktanya, contoh ; di antaranya dari beberapa peristiwa kriminal yang pengaturannya ada pada wetboek strafrecht dan atau Jo. UU. ITE, terkait dan dihubungkan dengan para pelaku yang nota bene adalah aparatur negara dan atau petugas bentukan Pemerintahan Pusat selaku penyelenggara negara, diantaranya dan antara lain, terhadap peristiwa pidana penyiraman air keras kepada Penyidik KPK, yakni Novel Baswedan, dan Meninggalnya Petugas KPPS Pemilu 2019, sebanyak 894 orang lebih, namun tidak jelas apakah ada visum untuk mencari penyebab kematiannya, dan Korban tewas 6 orang , diantaranya ada anak dibawah umur, pelajar SMP, terhadap kelanjutan adanya aksi demo didepan gedung Bawaslu pada siang harinya 21 Mai 2020, aksi tersebut dimaksudkan terkait laporan dan protes tentang kecurangan penyelenggaraan pemilu, dan dini harinya sekitar Pukul 02. 30 entah dikarenakan alasan apa, Brimob Polri mengadakan penyisiran dan penyergapan ke daerah Petamburan Kecamatan Tanah Abang, saat Tito Karnavian menjadi Kapolda Metro Jaya, dan tersiar kabar 6 Orang Meninggal dunia, akibat tembakan senjata api, dan tentunya perbuatan Brimob yang mendatangi perumahan warga, hingga jatuhnya korban meninggal, merupakan pelanggaran berat atau unlawful killing dan kategori pelanggaran HAM.

Dan extra Judicial Killing terhadap peristiwa tragedi Tol Cikampek, KM. 50 atau Pembunuhan Di luar Ketentuan Hukum terhadap 6 Orang Mujahid, Laskar FPI. Diikuti skenario peristiwa delik, dan banyak temuan rekayasa sejak awal proses hukum pada tingkat penyidikan sampai dengan proses dakwaan, tuntutan dan saat persidangan yang mengadilinya serta dan terkait keganjilan dalam pelaksanaan proses kesaksian dan atau pembuktian alat bukti, juga termasuk ketidak jelasannya daripada jumlah TSK/ TDW atau para pelaku penyertanya atau doenpleger, dan atau medepleger dan atau aktor intelektual yang justru semestinya turut bertanggung jawab secara hukum dan sanksi hukum berikut pemberatan sanksi hukum, ditmabja 1/3 ( Vide Pasal 52 KUHP ) dan termasuk pembunuhan kategori kejahatan kemanusiaan atau pelanggaran HAM, namun aneh, para Terdakwa / TDW, yang sejak berstatus Tersangka /TSK tidak ditahan, akhirnya vonis bebas onslag, dengan alasan pembunuhan terjadi akibat noodweer, merujuk Pasal 49 KUHP. Atau karena unsur dalam keadaan terpaksa ? Perbuatan para TDW Sama sekali terhindar sekalipun dari Culfa atau lalai, karena lalai yang mengakibatkan orang luka saja dikenakan sanksi hukuman.

Baca juga:  Air Mata Polisi

Walau keluarga korban dan penulis sendiri meyakini perbuatan para TDW tidaklah noodweer, melainkan Dolus dalam delik Pembunuhan 338 KUHP bahkan bisa jadi, penulis selaku pengamat hukum, berat condong dengan perspektif hukum, bahwa peristiwa memiliki kesan kuat ada pemberatan ( vide Pasal 52 KUHP ) karena pada delik dolus terdapat faktor mensrea atau berencana, ( 340 KUHP) karena fakta hukumnya ada jeda waktu antara tempus surveiilance, dan hari pemanggilan terhadap yang dikuntit Sang Ulama Besar di republik ini Habib Rizieq Shihab / HRS atau masih ada tenggang dari tanggal 6 Desemeber 2020, untuk pemanggilan esok hari 7 Desember 2020 dan fakta hukum pada tanggal 6 pun , Beliau belum berstatus TSK.

Dan lazimnya proses pemanggilan kepada saksi pelapor dan atau saksi terlapor, bahkan dalam praktek, biasa terjadi terhadap panggilan TSK, TSK bisa baru hadir pada panggilan ke – 3 atau ke- 4, terlebih ada alasan dan kemudahan penyampaian pemberitahuan melalui alat telekomunkasi, bahkan penyidik membuat BAP kadang dirumah Terpanggil ( pelapor atau terlapor ), maka atas dasar jeda atau tenggang waktu, penulis menyatakan asumsi bersandarkan hukum, TSK/ TDW patut dikenakan 340 KUHP. Terlebih Para TSK infonya tidak membawa borgol ? Aneh alasan itu melanggar protap daripada Perkap, dan setidaknya lalai ? ” Dan jika pengamat ikuti alur alibi berikut faktor modus dan atau motif para TSK/ TDW “, maka logikanya justru faktor penembakan tidak akan terjadi jika ke 6 orang Mujahid tersebut nyata diborgol ? Adapun delik culfa sesuai asas hukum pidana beda rumusan pada unsur – unsur deliknya dengan unsur – unsur dolus Jo. 338 jika akibat daripada overmacht Jo. 48 KUHP, yang berakibat vrijspraak, keadaan terpaksa oleh sebab, senjata korban yang dapat menghilangkan nyawa si pelaku. Begitupun amat beda klasifikasi terlebih terhadap faktor onslag yang secara hukum memiliki makna, perbuatan ada dan dapat dibuktikan, namun bukan sebuah pelanggaran atau kejahatan oleh sebab Pelaku / TDW melakukan dalam keadaan terpaksa, sehingga demi hukum harus dibebaskan oleh sebab noodweer Jo. 338 Jo. 49 KUHP, selain pasalnya pun berbeda, antara lalai dengan noodweer yang terpaksa oleh sebab berat lawan. Selain jumlah pelaku dan penyertanya/ deelneming, menurut penulis selaku pengamat hukum, tidak atau bukan hanya 3 ( orang ), melainkan lebih.

Selanjutnya ada gejala gejala hukum, ada fenomena peristiwa yang argumentasinya hampir sama dengan alibi- alibi irrasional pada tragedi KM. 50, dari Para Pelaku delik pidana yang tidak kalah sadisnya dan hebohnya dengan peristiwa unlawful killing saat ini, yakni peristiwa pembunuhan terhadap Anggota Polri Alm. Brigadir Novriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir Joshua dan Satgassus 303 , dua peristiwa yang berhubungan dengan diri Pelaku Ferdy Sambo, seorang Irjen Polisi, Kadiv Propam Polri, yang belum mendapat kejelasan proses dan sanksi hukumnya, berdsarkan fakta saat tulisan ini dibuat, PC. atau Ny. Sambo, salah seorang TSK otak pelakunya, atau doenpleger, yang menyuruh lakukan, juga tidak ditahan ( ilustrasi TSK/ TDW Tragedi KM. 50 ).

Baca juga:  Mahasiswa Tetap Berjuang

Maka terkait tindak kriminal ini semua tentu saja dapat dipertanggung jawabkan oleh Jokowi, dengan catatan hukum, jika ada benang merah terhadap kebijakan presiden semacam diskresi, atau kebijakan atas inisiasi Jokowi selaku seorang Presiden, setidaknya secara hukum seorang ( aparatur negara dan atau Polri ) yang memiliki kwalitas hukum untuk dihubungkan dengan seorang pemangku jabatan eksekutif tertinggi negara ini yaitu Jokowi/ Joko Widodo, adalah absah dan sebuah keniscayaan dari sisi hukum ketatanegaraan, dan mengingat adagium seorang pakar hukum ketatanegaraan : ” seluruh persoalan di negara ini, termasuk kebutuhan sandang dan pangan, atau kebutuhan pokok masyarakat, maka seluruh hasil sektor komoditi pertanian/ agraris dan termasuk harga cabai pun, presiden harus ikut bertanggung jawab secara hukum ( ketatanegaraan ) “.

Maka terkait tindak pidana yang termuat pada artikel ini, juga berdasarkan kepastian hukum ( rechtmatigheit ) jika ternyata ada bukti keterlibatan Jokowi, tentu berlaku asas equalitas. Maka hendaknya oleh sebab gejala atau fenomena yang riil ketidakmungkinan, akan adanya keadilan dan kepastian hukum saat ini. Dimana para wakil rakyat yang duduk di parlemen pun nampaknya, sudah kehilangan jatidiri terhormatnya untuk menggunakan 3 ( tiga ) hak selaku badan legislasi, kepada lembaga eksekutif ( Hak Interpelasi, Hak Angket dan hak Menyatakan pendapat ).

Namun mereka nampak sudah menjadi kembar siam dengan eksekutif. Sehingga bijaknya, patut rakyat pada bangsa ini bersabar menunggu penggantian pada pemerintahan Jokowi berakhir, oleh sebab bangsa ini pun entah mengapa hilang atau enggan menggunakan payung hukum terhadap hak peran serta masyarakat untuk melakukan ” Turun Rame – Rame ” secara sporadis, dengan jumlah lebih atau sama dengan gerakan aksi damai 212 , sehingga ” sudah dapat mencerminkan suara rakyat adalah suara tuhan “, selebihnya semoga pemerintahan yang baru kelak 2024 , dapat menyelesaikan Pekerjaan Aparatur Negara saat ini ( era Jokowi ) yang banyak terbengkalai oleh sebab fenomena penegakan hukum, oleh sebab karena faktor kinerja dirinya ( Jokowi ) yang tidak cakap dan atau para pembantunya para menteri kabinetnya di Indonesia Maju jilid II ( kolektif kolegial ) adalah amburadul, selain banyak berbuat kesewenang – wenangan, yang jelas mayoritas bangsa ini tengah berharap, dan berdoa kelak hasil dari pada pilpres 2024 bangsa inibakan mendapatkan seorang presiden selaku penguasa tertinggi eksekutif yang cerdas, cakap dan berwibawa, selalu tepati janji, jujur dan amanah terhadap bangsa ini dan Lintas Sara, tidak suka – suka atau tidak berlaku diskriminatif, penegakan hukum yang benar- benar objektif, jujur, transparan, demi keadilan serta kepastian hukum dan menghasilkan manfaat efek jera bagi para pelaku dan nagi calon pelaku delik