Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
Pilpres 2024 berpotensi tidak berkualitas. Bahkan, merugikan rakyat dan mendegradasi demokrasi karena hanya akan menghasilkan pemimpin hasil kongkalikong penguasa, parpol, dan oligarki.
Pada 15 September silam, dalam Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat, Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono mengaku mendengar dan mengetahui kabar bahwa ada tanda-tanda pemilu diselenggarakan secara tidak jujur dan tidak adil.
Informasi itulah yang memaksanya “turun gunung” untuk menghadapi pemilu. Konon, Pilpres akan diatur hanya akan diikuti dua pasangan capres-cawapres saja. “Informasinya, Demokrat sebagai oposisi jangan harap bisa mengajukan capres dan cawapresnya sendiri, bersama koalisinya tentunya. Jahat bukan? Menginjak-injak hak rakyat bukan?” katanya.
Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng lebih eksplisit lagi bahwa yang diupayakan untuk dijegal adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Tapi bukan hanya Anies. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga akan disingkirkan dari arena kontestasi.
Skenario menghabisi Anies dan Ganjar diharapkan dapat membuka jalan bagi pasangan calon yang dikehendaki Jokowi, parpol, dan oligarki. Nama-nama yang diharapkan berkompetisi, di antaranya, adalah Ketua DPP PDI-P Puan Maharani, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Kecuali Prabowo, dua nama yang disebut sebelumnya memiliki elektabilitas yang rendah. Sebaliknya, Anies dan Ganjar konsisten berada pada tingkat tiga besar bersama Prabowo. Dengan demikian, bila Anies dan Ganjar dicapreskan, maka peluang menang keduanya cukup besar, bahkan sekalipun harus bersaing dengan Prabowo.
Bagaimana caranya menghabisi Anies dan Ganjar? Untuk Anies kita bisa melihat dari proses pembentukan Koalisi Indonesia Bersatu — terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP — yang kabarnya atas perintah Jokowi. KIB kabarnya tak akan mengusung Anies dan direncanakan menjadi sekoci bagi Ganjar jika PDI-P tak mengusungnya.
Memang tidak masuk akal secara politik kalau PAN dan PPP mengusung pasangan tanpa Anies. Pasalnya, konstituen kedua partai ini adalah pendukung Anies. Apa boleh buat mereka terpaksa tunduk pada penguasa karena ketua umunya bermasalah. Belakangan KIB pun menyatakan tak akan mengusung Ganjar. Sangat mungkin karena ditekan PDI-P dan disetujui Jokowi.
Indikasi lain, perhelatan Formula-E yang diselenggarakan Pemprov DKI diboikot BUMN-BUMN. Bandingkan dengan acara MotoGP di sirkuit Mandalika di mana BUMN-BUMN beramai menggelontorkan dana. Bagaimanapun, di luar dugaan, Formula-E berhasil dengan gemilang dan melambungkan nama Anies hingga ke level internasional.
Sekonyong-konyong, KPK memanggil Anies sebagai saksi dalam investigasi kemungkinan terjadi korupsi dalam perhelatan itu. Santer terdengar aksi KPK itu atas perintah Jokowi.
Formula-E mendatangkan keuntungan material maupun nonmaterial. Dari sisi material, Pemprov DKI meraup untung besar. Dari sisi nonmaterial, hajatan itu mengharumkan nama Indonesia hingga ke tingkat internasional. Memang wajar saja bila KPK ingin tahu proses penyelenggaraan acara itu, khususnya aspek anggarannya.
Anies telah memenuhi undangan itu untuk membantu KPK melaksanakan tugasnya. Namun, bila pada hari-hari mendatang ia dibuat harus bolak-balik ke gedung lembaga anti-rasuah itu, maka tak usah heran bila publik menganggap KPK telah dijadikan alat politik untuk membunuh karakter Anies.
Ganjar adalah kader PDI-P. Maka mengherankan ketika Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri tak mau ia dicapreskan. Memang selama memimpin Jateng dalam 9 tahun terakhir, kinerja Ganjar jeblok, Jateng menjadi provinsi termiskin di Jawa. Tapi Ganjar cukup populer dan ingin sekali jadi presiden. Sudah cukup lama ia dan relawannya aktif di media sosial dalam mempromosikan “Ganjar for Prediden.” Bahkan, dikabarkan ia telah memiliki tim sukses.
Indikasi Ganjar tak bakal diusung PDI-P terlihat kembali ketika Puan, puteri Megawati, mengumpulkan seluruh kepala daerah dari PDI-P di Renaissance Ballroom, Kota Semarang, pada 18 September, untuk persiapan pemilu tanpa mengundang Ganjar. Acara tersebut bertajuk “Menang Spektakuler 2024: Hatrick!”
Isyarat kuat PDI-P akan membuang Ganjar juga terlihat dalam insiden di Desa Wadas, Jateng, di mana para petinggi PDI-P menyudutkan Ganjar. Kendati memang ia harus bertanggung jawab atas kekerasan aparat terhadap warga Wadas yang menolak tanahnya dibeli paksa untuk dijadikan tambang batu andesit, serangan pengurus teras PDI-P terhadap kadernya bertujuan membunuh karakternya.
Tak sampai di situ. Beberapa waktu lalu, dalam acara PDI-P di Jakarta yang dihadiri Ganjar, Mega meminta kadernya yang bermanuver secara independen dan bermain dia dua kaki untuk angkat kaki dari partai. Jelas pernyataan itu ditujukan kepada Ganjar.
Mengapa Anies dan Ganjar harus disingkirkan? Untuk Anies, PDI-P, Jokowi, dan oligarki tak menghendakinya berdasarkan pertimbangan visi dan sikap Anies, alasan ideologis, dan indepensinya dari pengaruh oligarki. Selain bukan kader, Anies dilihat mewakili kelompok kanan.
Kendati mustahil Anies melaksanakan agenda Islamis bila nanti memimpin — sebagaimana kita bisa nilai dari kinerjanya dalam mimpim Jakarta — namun pasti ia akan mengintegrasikan kelompok Islam konservatif yang diintimidasi dan dimarginalkan rezim Jokowi demi merukunkan kembali masyarakat yang terpolarisasi sejak 2014. Ini juga yang menjadi harapan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh — serta banyak tokoh bangsa — ketika menimbang Anies sebagai salah satu calon unggulan.
Tapi di mata Mega, Anies adalah mimpi buruk dalam upayanya memastikan Puan menduduki kursi pimpinan puncak, paling tidak sebagai wakil presiden. Sementara Jokowi tak menghendaki Anies karena visinya tentang Indonesia ke depan tak bersesuaian dengan keinginannya. Dengan kata lain, tidak ada jaminan Anies akan melanjutkan kebijakan dan program pembangunannya, yang belakangan ini mendapat kritik publik mulai dari isu ekonomi, demokrasi, HAM, kebebasan, kemiskinan, hubungan internasional, dan KKN.
Kerangka pikiran Anies yang dapat dilihat dari kepemimpinannya di Jakarta adalah membangun manusia berkualitas lahir batin sebagai titik tolaknya. Membangun masyarakat yang kuat dan maju tak mungkin diwujudkan bila pemimpin gagal memahami ideologi negara dan cita-cita kemerdekaan.
Kemanusiaan universal tidak mungkin diwujudkan bila politik luar negeri kita mengabaikan penjajahan satu negara atas negara lain atau penindasan negara atas kelompok minoritas apa pun alasannya karena akan menyulitkan amanat konstitusi menciptakan perdamaian dunia serta pengingkaran terhadap HAM.
Persatuan bangsa juga mustahil bisa diwujudkan tanpa terlebih dahulu menghadirkan keadilan sosial. Keadilan sosial pada gilirannya tak mungkin direalisasikan bila penguasa mendahulukan kepentingan suatu kelompok dengan mengorbankan kelompok lain. Selanjutnya, demokrasi hanya mimpi manakala ada anak bangsa yang didiskriminasi dan kelompok kuat secara politik dan ekonomi menguasai kelompok inferior.
Bagi oligarki, Anies menjadi sandungan bagi kerakusan mereka. Kendati ia menghentikan belasan pulau reklamasi, Anies sama sekali tidak menentang orang untuk menjadi kaya. Tetapi kekayaannya harus didapat tanpa mengorban kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.
Sebenarnya, ketimbang Anies, Jokowi dan oligarki lebih menghendaki Ganjar. Toh, ia secara tegas menyatakan akan melanjutkan program pembangunan Jokowi dan giat menunjukkan perlawanannya terhadap Islam konservatif yang distigmakan sebagai kelompok radikal.
Namun, sebagaimana Anies, Ganjar juga dipandang akan menguburkan mimpi Puan. Padahal, dipersepsikan hanya pada Pilpres 2024 harapan Puan meraih kursi tertinggi negara memiliki peluang. Pasalnya, pada Pilpres 2029, mungkin saja Mega yang telah uzur (berusia 82 tahun) tak lagi berperan. Pada saat bersamaan, populeritas Puan pun redup kalau PDI-P tak lagi berada di pemerintahan dari 2024-2029.
Dus, kelangsungan hidup Puan secara politik — yang diidentikkan dengan kepentingan eksistensi dan kelangsungan hidup PDI-P sebagai partai terbesar — adalah “now or never”. Untuk konteks inilah penyingkiran Anies dan Ganjar menemukan relevansinya.
Sayangnya, cita-cita itu mengancam kualitas demokrasi dan mengamputasi aspirasi rakyat. Maka, dua hari setelah sinyalemen SBY di atas, 32 pimpinan perguruan tinggi negeri dan swasta di Yogyakarta berkumpul di UGM. Usai berdialog, mereka menyampaikan 10 poin seruan moral tentang pemilu dan demokrasi.
Di antaranya, mengajak semua komponen bangsa mengedepankan kejujuran, keteladanan, dan keadaban kontestasi dalam sistem demokrasi, dan menghindari persaingan politik kotor demi kekuasaan semata. Juga menjamin pemilu berjalan secara partisipatif dan tidak dimonopoli segelintir elit kelompok oligarki dan mengabaikan kepentingan publik.
Serta mendesak para elit, penguasa ekonomi, parpol, dan penyelenggara pemilu menjamin akuntabilitas dalam menjalankan tugas dan fungsinya dan tidak menggunakan kebebasan demokrasi secara manipulatif yang mencederai hak atau melanggar konstitusi (Kompas.com, 17 September 2022).
Terkait upaya menyingkirkan Anies dan Ganjar, muncul pertanyaan apakah persekongkolan itu akan berhasil? Untuk Anies mungkin tidak, karena ada indikasi kuat Partai Demokrat, Nasdem, dan PKS , akan mengusungnya. Kebetulan Jokowi tak berkuasa atas tiga parpol ini. Berbasis pada kemungkinan inilah timbul rencana Jokowi dipasangkan dengan Prabowo sebagai cawapres. Namun, gagasan aib ini tidak mudah untuk direalisasikan karena inkonstitusional. Juga tak akan didukung PDI-P karena cita-cita Puan dan partai tak kesampaian.
Tangsel, 20-9-20220