Sastrawan Politik: Kenaikan BBM Memicu Kemarahan Rakyat dan Bisa seperti Sri Lanka

Kebijakan pemerintah Joko Widodo yang menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) memicu inflasi dan bisa terjadi kemarahan rakyat seperti di Sri Lanka.

“Kenaikan harga BBM memicu inflasi, kenaikan harga-harga barang dan jasa, meningkatkan angka kemiskinan dan pengangguran, meningkatkan penderiraan rakyat,” kata Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin kepada redaksi www.suaranasional.com, Rabu (24/8/2022).

Kata Khozinudin, kenaikan BBM memunculkan kemarahan rakyat. “Akhirnya memantik kemarahan rakyat. Kalau rakyat marah, tahu sendiri Sri Lanka seperti apa,” ungkapnya.

Kata Khozinudin, pemerintah Jokowi tidak usah berdalih harga BBM Indonesia jauh lebih murah ketimbang Singapura, Thailand dan Jerman. Boleh saja harga BBM disejajarkan dengan Singapura, Thailand dan Jerman tapi syaratnya sejahterakan dulu rakyat Indonesia agar sejajar dengan rakyat Singapura. Baru BBM Indonesia disamakan dengan Singapura.

Pendapatan Per Kapita Singapura dilaporkan sebesar 72,766.000 USD pada 2021. Rekor ini naik dibanding sebelumnya yaitu 60,752.000 USD untuk 2020.

“Sementara Indonesia ? menurut data Data CEIC menyebutkan Indonesia pada tahun 2021 memiliki pendapatan per kapita hanya sebesar US$ 4.349,17,” jelasnya.

Hitung saja selisihnya,1 USD saat ini Rp10.651,41 sementasra 1 US$ sebesar 14.851,10.

Khozinudin mengatakan, kambing hitam kenaikan BBM selalu harga minyak dunia, kenaikan subsidi yang berdampak pada beban bagi APBN. Subsidi energi yang mencapai Rp 502 triliun, dituding telah membebani APBN.

Padahal, beban APBN yang terbesar itu bukan pada subsidi, melainkan beban utang dan kewajiban untuk membayar utang baik cicilan maupun bunganya. Pokok utang juga terus meningkat.

Kementrian keuangan mengabarkan, utang Indonesia hingga akhir Juli 2022 membengkak dari bulan sebelumnya. Posisi utang hingga 31 Juli 2022 mencapai Rp 7.163,12 triliun atau setara 37,91 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Sementara itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan, pemerintah mengalokasikan pembayaran bunga utang sebesar Rp405,9 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022. Alokasi tersebut terdiri dari pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar Rp393,7 triliun dan luar negeri Rp12,2 triliun.

“Memang benar, angka cicilan utang Rp405,9 T masih lebih kecil dari subsidi Rp502 T. Namun, subsidi Rp502 T ini dirasakan oleh seluruh rakyat, sementara itu utang hanya membebani rakyat,” pungkas Khozinudin.