Pilpres Indonesia dalam Sorotan Barat

Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)

Pemilihan presiden Indonesia tinggal satu setengah tahun lagi. Dan Barat gelisah. Maka mestinya AS dan sekutunya menyorotnya sebagai event penting terkait kepentingan geopolitik mereka vis a vis Cina yang sedang merangsek ke berbagai penjuru dunia sebagai persiapan menjadi pemain global utama, terutama di Indo-Pasifik.

Presiden AS Joe Biden telah menetapkan Indo-Pasifik sebagai prioritas kebijakan luar negerinya. NATO pun melihat masa depan Barat terletak pada kawasan dengan besaran dan pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia. Hasil perang Rusia-Ukraina akan juga menentukan kebijakan mereka di Indo-Pasifik karena berdampak pada kepentingan strategis mereka.

Bila Rusia menang perang, pamor NATO akan meredup dan akan disibukkan dengan pembaharuan sistem pertahanan di Eropa menghadapi potensi ancaman Rusia. Di pihak lain, posisi Cina yang telah menyepakati kerja sama tanpa batas dengan Rusia — dan memberi dukungan politik dan ekonomi pada rezim Presiden Vladimir Putin — akan menguat.

Hal ini berpotensi menghadirkan instabilitas dan gangguan keamanan di Indo-Pasifik mengingat Beijing punya klaim teritori mulai dari Jepang hingga Asia Tenggara. Dalam konteks persaingan geopolitik antara Cina-Rusia menghadapi NATO pimpinan AS tersebut, Asia Tenggara menjadi kawasan yang sangat strategis dan jadi rebutan negara-negara itu.

Myanmar, Kamboja, dan Laos telah jatuh ke dalam lingkungan pengaruh Cina. Thailand, Singapura, dan Filipina pro-NATO. Sementara Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam mengambil sikap netral.

Dari semua bangsa-bangsa ASEAN, Indonesia merupakan yang terpenting bagi NATO maupun Cina, baik dari sisi geografis, besaran ekonomi, maupun keunikan sejarah dan budayanya. Hal ini akan membuat Indonesia akan selalu menjaga indepensinya kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti rezim Soekarno yang cenderung pro-Cina atau rezim Soeharto yang pro-Barat.

Indonesia masa kini — meskipun mengambil posisi netral — terkesan lebih pro-Beijing. Penyebabnya, Cina obral investasi — yang tidak dilakukan Barat — yang dijadikan sokoguru pembangunan ekonominya, meskipun studi terakhir lembaga internasional mengungkapkan: dari 26 negara yang menjadikan investasi asing sebagai sokoguru pembangunan ekonominya hanya empat yang berhasil. Sisanya gagal.

Karena pilpres Indonesia berlangsung tanpa petahana, maka ia berpotensi melahirkan pemimpin yang tak terduga. Para aspiran capres — Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan — yang secara konsisten menduduki tiga besar menurut berbagai lembaga survey nasional mendapat sorotan negara-negara Barat.

Biografi dan track record mereka ditinjau secara saksama dan mendalam. Mereka berharap pemimpin yang otentik, yang telah terbukti berhasil ketika memimpin daerah atau kementerian sesuai kriteria Barat, dan terutama berkomitmen pada demokrasi yang substantif, keluar sebagai pemenang.

Pemimpin yang demikian, yang juga moderat, menghormati kebebasan semua pemeluk agama, dan berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan universal, dipandang dapat menghadang sistem otoritarian Cina yang efisien dan mulai dikagumi banyak negara berkembang yang repot berurusan dengan demokrasi dan HAM.

Pada Maret silam, AS meloloskan UU Anti-Islamfobia — dan hampir bersamaan mendukung resolusi Majelis Umum PBB yang menetapkan 15 April sebagai Hari Anti-Islamfobia — yang memberi pesan kuat Gedung Putih kini telah meninggalkan kebijakan lama “Anti-Islam” pasca tragedi 11 September 2001.

Perhatian Barat pada pilpres Indonesia terkait dengan keinginan mereka menambah teman strategis di Indo-Pasifik. Maklum, postur politik luar negeri Beijing kian agresif dan asertif di kawasan. Di Laut Cina Timur, Beijing mengklaim Pulau Senkaku di ujung selatan Jepang sebagai miliknya. Ia menyebutnya Pulau Diaoyu. Hal ini telah menimbulkan ketakutan Tokyo.

Sementara itu, Beijing terus mengintimidasi Taiwan, negara demokrasi yang berpisah dengan Cina daratan sejak 1949. AS dan sekutunya memang mengadopsi kebijakan “Satu Cina”, yang secara tersirat mengakui Taiwan bagian dari komunis Cina. Namun, AS terus bantu mempersenjatai Taiwan, produsen chip utama dunia. Bahkan, baru-baru ini Biden menyatakan terang-terangan bahwa AS akan membantu Taiwan secara militer bila Cina mewujudkan ancamannya mengambil Taiwan secara militer bila diperlukan.

Di Laut Cina Selatan (LCS) yang kaya energi, Beijing mengklaim hampir seluruh kawasan luas itu yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus. Klaimnya tumpang tindih dengan klaim Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Filipina. Menurut hukum laut internasional (UNCLOS), yang juga ditandatangi Cina, klaim keempat negara itu absah.

Klaim Beijing diikuti pembangunan pangkalan militer di sana, seperti Kepulauan Paracel dan Spratly, dan eksplorasi minyak dan gas. Pada 2016, Mahkamah Internasional menerima gugatan Filipina atas sebagian pulau yang masuk ke dalam zona ekonomi eksklusifnya dengan menolak klaim Cina.

Namun, Beijing bergeming. Memang bila ia tunduk pada keputusan Mahkamah, maka mau tak mau ia harus juga melepaskan pulau-pulau yang diklaim empat bangsa ASEAN di atas. Bahkan, ia juga harus melepaskan klaimnya atas Laut Natuna Utara milik Indonesia sebagai wilayah pencarian ikan tradisional nelayan Cina. Mahkamah menolak klaim-klaim historis Cina atas teritori negara-negara ASEAN itu karena tidak didukung bukti.

Perilaku itu Cina bukan saja menyadarkan ASEAN tentang bahaya kuning, tapi juga mengkhawatirkan AS dan sekutu. LCS, Selat Taiwan, dan Laut Cina Timur adalah lintasan utama kapal-kapal komersial internasional yang mengangkut komoditas senilai 5 triliun dollar per tahun.

Penguasaan Cina atas seluruh kawasan itu membuat perdagangan di Indo-Pasifik sebagian besar bergantung pada belas kasihan Cina. Artinya, Beijing dapat menutup akses ke kawasan itu yang dapat mendisrupsi secara serius rantai pasok dunia. Bahkan, perairan internasional itu pun tak dapat dilalui kapal-kapal perang AS dan sekutu, yang akan melemahkan pengaruh NATO di kawasan.

Cina bahkan telah memproyeksikan kekuatan militernya hingga ke Pasifik Selatan dengan mengadakan perjanjian keamanan dengan Kepulauan Solomon. Perjanjian ini menimbulkan alarm bagi AS, Australia, dan Selandia Baru. Mereka khawatir Cina akan membangun pangkalan militer di sana. Ini akan menggerus pengaruh Australia sebagai kekuatan utama di Pasifik Selatan.

Situasi Indo-Pasifik bertambah rawan bila perang Ukraina berakhir dengan kemenangan Rusia. Sebagaimana diketahui, Rusia juga negara Indo-Pasifik yang menduduki kepulauan Kuril milik Jepang di utara. Untuk alasan inilah NATO mati-matian membantu Ukraina. Selain untuk menghilangkan ancaman Rusia terhadap Eropa dengan mengkerdilkannya, Cina akan berpikir seribu kali untuk menantang NATO di Indo-Pasifik bila Kremlin kalah perang.

Tetapi bila sebaliknya yang terjadi — kemungkinan Rusia menang perang cukup besar karena beban ekonomi-politik yang dipikul Rusia lebih kecil ketimbang yang dipikul AS, NATO, dan negara berkembang akibat meningkatnya harga energi dan pangan dunia yang memicu inflasi tinggi di mana-mana — maka Beijing dengan bantuan Moskow akan kian agresif di Indo-Pasifik tanpa perlawanan berarti dari lawannya.

Untuk beberapa tahun ke depan, Eropa akan berkonsentrasi ke dalam untuk membenahi ekonominnya sambil meningkatkan kemampuan militernya sebagai antisipasi terhadap ancaman Rusia. Pada titik ini, bukan tidak mungkin Cina akan menyerbu Taiwan mumpung NATO tidak siap untuk perang baru yang lebih besar.

Dalam skenario yang digambarkan di atas, signifikasi Indonesia di mata Barat berlipat ganda dalam menahan laju ekspansi Cina di LCS and beyond. Bila Jakarta juga jatuh ke dalam lingkungan pengaruh Cina, maka bukan saja seluruh ASEAN akan bertekuk lutut di hadapan Beijing, tapi juga Cina mendapat akses langsung ke Samudera Hindia dan Australia melalui Selat Malaka dan Selat Lombok.

Barat menyadari nyaris mustahil Indonesia akan menjadi sekutu Barat karena akan menimbulkan eskalasi ketegangan di ASEAN yang tidak menguntungkan Indonesia kecuali Cina menghadirkan ancaman militer nyata terhadap Indonesia. Dengan menjaga hubungan baik dengan Beijing, Jakarta dapat mengambil keuntungan, baik dari kemajuan ekonomi, teknologi, dan kekuatan politik Cina sebagai kekuatan global.

Tetapi Indonesia diharapkan secara kuat dan konsisten dapat memainkan peran pengimbang antara dua kubu yang bersaing. Yang tak kurang penting, Indonesia dapat menjadi obor demokrasi di ASEAN dan Dunia Islam saat sistem Cina sedang dilirik banyak negara berkembang.Juga untuk mendukung kebebasan beragama. Tetapi Barat tidak akan mendapatkan apa yang diharapkan dari Indonesia bila tak dapat mengimbangi program pembangunan infrastruktur global (OBOR) Cina yang sangat dibutuhkan negara-negara berkembang.

Meskipun sedikit terlambat, awal Juli ini, dalam pertemuan G-7 di Brussels, negara-negara demokrasi kaya itu berkomitmen menyediakan dana senilai 300 miliar dollar AS bagi dunia berkembang untuk mengimbangi program OBOR. Dilihat dari kepentingan Barat dan ASEAN khususnya, kebijakan ini dinilai tepat karena akan memberi ASEAN kartu tawar vis a vis Cina, khususnya Indonesia. Paling tidak, menjaga beberapa negara ASEAN tak jatuh dalam lingkungan pengaruh Cina.

Tetapi situasi ini tak dapat dimanfaatkan Indonesia bila presiden terpilih nanti tidak memahami percaturan politik global atau tidak memiliki visi Indo-Pasifik yang sangat dinamis. Yang juga penting, ia harus terlebih dahulu memperkuat ketahanan nasional dengan menghadirkan keadilan sosial dan persatuan bangsa. Butir yang pertama menjadi prasyarat bagi terwujudnya butir kedua.

Indonesia memang secara alami adalah negara plural, beragama, demokratis, dan sosialistis. Kesadaran pemimpin pada prinsip-prinsip inilah yang akan selalu menjadikan Indonesia sebagai negara kuat, beradab, dan bermartabat. Kita tak punya kemampuan ekonomi dan militer untuk menghadang kekuatan besar. Tetapi tegaknya keadilan dan persatuan, serta diplomasi yang cerdik dari penimpin yang cerdas dan visioner, merupakan modal utama dalam menjaga eksistensi bangsa dalam badai persaingan bangsa-bangsa besar. Kalau tidak, kita bisa menjadi seperti Sri Langka.

Tangerang Selatan, 14 Juli 2022