Nasib RI Bakal seperti Sri Lanka Bangkrut? Sri Mulyani Menjawab


Sri Lanka bangkut dan memiliki utang sebesar Rp748 triliun. Sri Lanka telah gagal membayar utangnya pertama kali. Hal ini menjadi krisis keuangan terburuk selama lebih dari 70 tahun.



Berdasarkan survei Bloomberg, persentase Sri Lanka berpotensi mengalami resesi adalah sebesar 85%. Ancaman resesi Sri Lanka ini ditakutkan merembet ke negara Asia lainnya termasuk Indonesia.





Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kondisi yang terjadi di Sri Lanka jauh berbeda dengan Indonesia. Hal ini tercermin dari tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi hingga pengelolaa APBN Indonesia.



“Saya rasa seharusnya melihat saja faktual mengenai background setiap negara sisi kinerja pertumbuhan ekonomi, inflasi, neraca pembayaran, kinerja APBN, kinerja kebijakan moneter dilihat inflasi dan korproasinya,” kata Sri Mulyani di Nusa Dua, dikutip dari Okezone, Rabu (13/7/2022).



Lebih lanjut Sri Mulyani mengatakan, konsumsi rumah tangga setiap negara juga berbeda sehingga tidak mudah terpengaruh saat ada salah satu negara resesi. Selain itu, inflasi Indonesia juga masih terjaga.



Baca juga:  Hari Ini Sidang Isbat Penentuan Idul Fitri 2019

Meskipun Sri Mulyani tak menampik ada tekanan inflasi dari kenaikan harga cabai merah, listrik hingga BBM.



Hal lain yang juga menjadi perbedaan adalah ketahanan perekonomian dari negara-negara yang berbeda-beda. Dengan tingginya harga pangan dan energi serta pemulihan ekonomi yang belum sepenuhnya pulih akibat dari dampak pandemi covid-19 dua tahun terakhir.



“Jadi kalau mereka mengalami kontraksi dalam akibat pandemi dan belum pulih ditambah dengan kemudian inflasi yang tinggi yang sekarang ini terjadi, ini akan makin menimbulkan kompleksitas suatu negara. Kemudian mereka juga akan melihat dari sisi monetary policy-nya,” ujar dia.



Di sisi lain, kondisi utang pemerintah maupun swasta di Indonesia dinilai masih aman.



Baca juga:  Bantuan Pesantren Diduga Disunat, Menag Dituntut Transparan

“Mereka akan lihat dari sisi APBN-nya, apakah APBN-nya cukup kuat defisitnya terkendali dan juga dari sisi jumlah utang terhadap GDP dan debt service dari utang itu jadi tidak hanya level tapi juga khususnya,” pungkas dia.