Negara dalam Cengkeraman Oligarki bukan Islam Radikal

Oleh Iwan Januar, Siyasah Institute

Pengamat politik dan terorisme asal Australia, Sydney Jones, buka suara soal aksi bom Makassar. Menurutnya, pemerintah RI terlalu obsesif menyeret FPI dalam aksi peledakan tersebut. Ada dua alasan yang bisa disimpulkan dari pernyataan Jones; pertama, tudingan pemerintah bahwa ada anggota FPI yang terlibat dalam ISIS telah terbantahkan dengan sikap FPI mengeluarkan semua anggotanya yang terlibat dengan organisasi bentukan AS tersebut.

Imam besar FPI, HaeReS, sudah menyatakan tidak mendukung kelompok yang berbasis di Irak dan Suriah tersebut. Di awal kemunculan ISIS, memang ada pernyataan dari beliau tentang sikap baik pada setiap kelompok Islam, namun seiring perkembangan yang buruk tentang ISIS, membuat jajaran FPI bersikap tegas menolak. Termasuk mengeluarkan setiap anggotanya yang terlibat di dalamnya. Sikap ini mengklarifikasi pernyataan pemerintah seperti BIN yang menyatakan ada proses pembaiatan terhadap ISIS di Makassar.

Kedua, Jones melihat bahwa anggota-anggota FP* tidak memiliki ‘ideologi’ seperti ISIS. Anggota-anggota FPI punya corak peribadatan warga NU seperti memperingati maulid, isra mi’raj, zikir, sholawat serta berkhidmat pada para habib. Ini berbeda dengan kelompok ISIS yang membid’ahkan ritual ibadah macam itu.

Baca juga:  Akting Cak Imin

Pernyataan Jones ini sekaligus membantah omongan Said Aqil kalau paham Wahabi-Salafi adalah pintu masuk terorisme. Di satu sisi aparat keamanan menyebut pelaku pemboman adalah anggota FP*lI yang terlibat JAD dan ISIS, tapi di sisi lain madzhab FPI berbeda dengan Wahabi-Salafi. Jadi, tudingan pemerintah dan SAS sama-sama ngawur dan kena ‘tamparan’ Sydney Jones.

Di sisi lain, FPI juga sudah dikenal sebagai ormas yang rajin terlibat dalam kegiatan kemanusiaan. Banyak tokoh mengakui FPI adalah ormas yang sering berada di garis terdepan dalam setiap aksi tanggap bencana. Lagian, kalau betul FPI punya syahwat teror, mestinya aksi 411 dan 212 chaos. Nyatanya aksi-aksi itu berjalan damai.

Dari sini kelihatan makin lama isu terorisme dan radikalisme semakin kehilangan relevansinya dengan persoalan bangsa. Di setiap negara selalu ada kelompok-kelompok pengacau keamanan, tapi mengaitkannya kelompok Islam dan bermain isu radikalisme, justru membuat rakyat jadi muak.

Persoalan bangsa hari ini adalah oligarki kekuasaan dengan tameng tirani konstitusional. Oligarki membuat rakyat hilang kekuasaan dan kesempatan mendapat kemakmuran. Bagaimana bisa di negeri yang agraris tapi ada 22 juta orang Indonesia kelaparan, lalu indeks keamanan makanan globalnya berada di bawah negara Afrika macam Zimbabwe dan Ethiopia?

Baca juga:  Mahakarya Syeitan

Lalu bagaimana juga bisa negara agraris saat panen raya tapi negaranya justru impor 1 juta ton beras? Sedangkan petaninya tersengal-sengal bercocok tanam dengan biaya yang tidak murah, tapi dihantam dengan beras impor?

Oligarki juga yang membuat penanganan korupsi lumpuh layu, sementara korupsinya makin ugal-ugalan; Jiwasraya, Asabri, dll. Para koruptor rata-rata dihukum di bawah 4 tahun. Dan hanya di Indonesia pula ada koruptor yang bisa dilantik menjadi pejabat daerah, dan belasan tersangka koruptor dilantik jadi kepala daerah.

Oligarki pula yang membuat negara diseret ke arah korporatokrasi. Negara yang dipimpin dan dikuasai korporat. UU Omnibus Law dan UU Minerba dua contoh kesaktian oligarki menguasai negara dan mengalahkan hajat rakyat.

Kita semua mengutuk terorisme, tapi kita juga mengutuk mulut siapa saja yang gampang menuduh kelompok Islam dan sebutan radikal radikul sebagai pelaku teror. Kita juga mengingatkan pemerintah dan rakyat kalau negara ini sedang berada dalam cengkraman oligarki; hasil kongkalikong parpol dan pengusaha serta pejabat pemburu rente. Oligarki bukan lagi bahaya laten, tapi nyata. #Oligarki #radikal