Oleh: Sutoyo Abadi (Sekjen KAMI Lintas Provinsi)
Kepercayaan masyarakat kepada penyelenggara negara ini makin memudar dalam memandang kepemimpinan nasional yang makin ugal ugalan. Berdampak pada pecah belah antar warga bangsa, meluasnya sinisme, permusuhan dan berlakunya prilaku barbarisme.
Bersamaan negara berjalan tanpa kompas, menuju negara terjerumus ke dalam keadaan darurat resmi resesi ekonomi dan perang asimetris.
Proses demokrasi di porak – porandakan dan diubah menjadi otoritarianisme oligarki. Semua pejabat negara menjadi boneka dalam genggaman oligarki.
Kebijakan negara terasa makin kering dari konsistensi, kosong dan menjauh dari tujuan negara sesuai pembukaan UUD 45. Terasa semua berada dalam sekapan dan dekapan kapitalis liar Oligarki.
Tercium aroma hanya nafsu picik kekuasaan yang asal asalan. Hilang demokrasi yang rasionalitas yang mengutamakan etika ( integritas dan moralitas ) serta akal budi ( otoritas dan kompetensi ) berubah menjadi kekuasaan suka suka .
Prinsip dan fungsi checks and balances antara eksekutif dan legislatif terjadi stagnasi. Yang muncul justru perilaku politik identitas yang ”hitam-putih”, miskin nalar, dan rabun sejarah bangsa. Inilah yang membangkitkan monster primordialisme, fanatisme agama, sebaran fitnah yang melampaui akal-sehat dan kepatutan, serta prasangka-prasangka stereotip yang semuanya bertentangan dengan etika dan akal budi.
Terjadinya pengabaian reformasi the abandonment of political reform justru dilakukan oleh koalisi kekuasaan boneka, perlombaan mencari peluang jabatan dan kekuasaan. Termasuk tipu muslihat kasar di parlemen dalam sidang-sidang penetapan UU yang selama ini kena stigma semua pesanan oligarki. Pengesahan UU IKN dalam tempo yang sesingkat – singkatnya ( simsalabim ) jadilah jadi.
Pimpinan serta alat kelengkapan DPR dapat menjungkirbalikan rasionalitas demokrasi, terutama berkenaan dengan tuntutan harkat lembaga perwakilan rakyat. Fungsi MPR yang bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara menjelma menjadi lembaga perwakilan rakyat di alam hampa.
Kondisi diatas diperparah dengan gaya kepemimpinan rezim yang mencela mencle serta peran kepemimpinannya yang hanya sebagai pemimpin boneka.. sangat mudah di lihat pada panggung depan (front stage), dan panggung belakang (back stage), berbeda 180 derajat .
Rezim begitu bangganya menumpahkan janji bahkan Prof. Amien Rais mengatakan yang dikatakan di kutub utara yang terjadi sebaliknya di kutub selatan. Artinya tidak adanya konsistensi antara yang di katakan dan kenyataan yang terjadi .
Cliffort Geertz adalah ahli antropologi asal Amerika (AS). Ia memakai istilah “negara panggung” alias theater state untuk memotret dinamika kekuasaan di Indonesia. “Ya Indonesia sudah berubah menjadi “negara panggung” alias theater state”. Simbolisme, persepsi, narasi dan drama lebih penting ketimbang realitas.