Kebijakan Transisi Energi Membutuhkan Kepastian Peta Jalan

Uncategorized

Oleh: Defiyan Cori (Ekonom Konstitusi)

Pada Hari Selasa, tanggal 16 Nopember 2021 Presiden Republik Indonesia mengumpulkan para Direksi dan Komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) beserta Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Menteri BUMN, dan Menteri Investasi (MenInves) bertempat di Istana Bogor, Provinsi Jawa Barat. Presiden Joko Widodo mengumpulkan para pejabat terkait tersebut karena telah menerima mandat Presidensi The Group of Twenty (G20) di Roma, Italia dan sosialisasi hasil pertemuan Conference of Parties ke-26 (COP26) terkait perubahan iklim (climate change) melalui penggunaan energi bersih dan ramah lingkungan di Skotlandia.

Setidaknya, ada 3 (tiga) catatan penting yang ditekankan oleh Presiden dan sebagiannya merupakan pengulangan komitmen untuk memenuhi janji kampanye, visi dan misi Trisakti dan Nawacita yang harus dijalankan, namun terhambat atau terlambat perkembangan kinerjanya. Yang pertama, adalah soal Kebijakan Transisi Energi dan investasi Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Yang kedua, soal perkembangan lambatnya proses dan perizinan investasi disegala sektor, khususnya EBT. Dan, yang ketiga khusus dialamatkan kepada jajaran Direksi dan Komisaris BUMN Pertamina dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengenai lambatnya pembangunan kilang kaitannya dengan defisit migas dan subtitusi impor dengan defisit neraca pembayaran kaitannya dengan penggunaan energi fosil.

Menarik untuk dicermati arahan Presiden tersebut dalam perspektif visi-misi Trisakti dan Nawacita, khususnya soal kemandirian ekonomi serta kinerja para pembantu Presiden, yaitu para Menteri yang mengurus permasalahan sektor industri dan energi kaitannya dengan korporatisme politik dan penegakan konstitusi ekonomi Pasal 33 UUD 1945.

Kinerja Dan Arah Investasi
Permasalahan investasi yang menurun telah menjadi polemik ditengah publik, terutama di sektor energi Indonesia yang saat ini menjadi tanggungjawab Pertamina dan PLN untuk mendukung penurunan impor Bahan Bakar Minyak (BBM) yang bersumber dari energi fosil. Tentu saja hal ini dipertanyakan karena ada hubungannya dengan masalah fokus dan konsistensi kebijakan energi, khususnya Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Mengacu pada data BKPM, secara kumulatif, pencapaian realisasi investasi pada Tahun 2020 (Januari-Desember) adalah Rp826,3 Triliun atau 101,1% dari sasaran (target) yang ditetapkan, yaitu sejumlah Rp817,2 Triliun. Berdasarkan sumbernya, maka realisasi investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mencapai Rp413,5 Triliun (50,1%), sedangkan Penanaman Modal Asing (PMA) sejumlah Rp412,8 Triliun atau sebesar 49,9 persen.

Namun sayangnya, porsi realisasi terbesar berada pada sektor transportasi, gudang, dan telekomunikasi yang tetap mendominasi dengan capaian sebesar Rp144,8 Triliun (17,5%). Sementara itu, Negara tetangga Singapura yang merupakan negara hub bagi investor asing, masih menjadi negara asal dengan realisasi investasi asing (PMA) terbesar, yaitu US$9,8 Miliar atau sejumlah Rp140,14 Triliun (34,1%).

Dengan demikian, terkait telah disahkan dan berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dan perkembangan vaksinasi yang sudah berjalan efektif mengatasi pandemi Covid-19, maka catatan penting yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo ini menjadi relevan, bahwa realisasi investasi Tahun 2020 dan Tahun 2021 yang masih berjalan disektor energi memang lebih rendah dibandingkan dengan sektor lainnya. Padahal, sesuai ketetapan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas realisasi investasi direncanakan mencapai Rp855,8 Triliun. Akan tetapi, arahan Presiden Joko Widodo agar BKPM dapat mencapai sasaran (target) realisasi investasi sebesar Rp900 Triliun pada Tahun 2021.

Kementerian Investasi/BKPM juga mencatat, bahwa pada semester I/2021, realisasi investasi mencapai sejumlah Rp442,7 triliun atau 49,2 persen dari sasaran target Rp900 Triliun yang diminta Presiden. Pada periode Januari-Juni 2021, kontribusi PMA pada realisasi investasi bertumbuh sebesar 16,8 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), dan kontribusi dari PMDN bertumbuh hanya sebesar 3,5 persen (yoy). Sementara itu, realisasi investasi sepanjang kuartal III-2021 sebesar Rp 216,7 triliun, tumbuh 3,7% year on year (yoy).
Namun secara kuartalan, realisasi investasi justru tumbuh minus 2,8% secara tahunan (you). Adapun realisasi investasi pada periode Juli-September 2021 tersebar pada sumber PMDN sejumlah Rp113,5 Triliun, dan berasal dari modal asing atau PMA sejumlah Rp103,2 Triliun yang masing-masing tumbuh 10,3% dan minus 2,7% secara tahunan (yoy).

Berdasarkan sektor usaha yang diinvestasikan, maka terbesar diarahkan kepada sektor perumahan, kawasan industri, dan perkantoran sejumlah Rp28,1 Triliun. Lalu, transportasi, gudang, dan telekomunikasi sejumlah Rp26,6 Triliun. Kemudian, industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya sejumlah Rp25,1 Triliun. Selanjutnya, pertambangan sejumlah Rp21 Triliun, dan jasa lainnya Rp19,4 Triliun.

Maka, apa yang menjadi perhatian penuh (concern) Presiden memperoleh buktinya, bahwa memang terjadi penurunan atau rendahnya realisasi investasi di sektor energi yang merupakan usaha dengan tingkat risiko tertinggi (high risk), modal yang besar (high capital) dan teknologi yang mahal (high technology). Padahal, sejak pemerintahan periode pertama Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden M Jusuf Kalla (2014-2019), hampir tanpa henti disampaikan dalam setiap kesempatan tatap muka dengan kalangan industriawan, bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya raya akan potensi energi baru dan terbarukan dalam rangka transformasi energi fosil, sebagai akibat menurunnya potensi energi fosil (minyak bumi) di Indonesia. Atas perkembangan kinerja realisasi dan arah alokasi sektoral investasi, mungkinkah Bahlil Lahadalia sebagai Menteri Investasi/Kepala BKPM mampu mengejar sisa sasaran (target) Rp458 Triliun dan kontribusi sektor energi, khususnya EBT dengan sisa waktu sebulan efektif?

Pembangunan Energi Dan Defisit
Pada pengarahan di istana Bogor tersebut, Presiden kembali mengulangi arahannya saat kunjungan ke pabrik PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban, Provinsi Jawa Timur tanggal 21 Desember 2019, Presiden juga menyinggung soal impor petrokimia yang nilainya mencapai Rp332 Triliun per tahun, yangmana kondisi ini disebabkan oleh jumlah kilang minyak sangat minim dan selama 34 tahun terakhir Indonesia tak pernah lagi membangun kilang minyak. Sementara itu dari sisi impor, dalam kurun waktu sebelas bulan terakhir, impor migas telah mengalami penurunan sebesar 29%, yaitu menjadi US$ 19,75 Miliar.

Penurunan impor migas lebih diakibatkan oleh anjloknya impor minyak mentah dan hasil minyak. Impor minyak mentah anjlok sebesar 42,4% (yoy) menjadi US$ 5 Miliar di sepanjang Januari-November 2019. Pada periode yang sama tahun 2018 lalu, impor minyak mentah adalah sebesar US$ 8,69 miliar. Ini salah satunya dikarenakan kebijakan Kementerian ESDM yang mewajibkan Pertamina untuk membeli minyak mentah dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di dalam negeri. Pemetaan dan Konsistensi Kebijakan Secara faktual, mengacu lagi pada data BKPM mutakhir pada bulan November 2019, memang tidak ada perubahan terhadap pola dan konsentrasi masuknya investasi asing ke Indonesia.

Pertanyaannya adalah dengan fluktuatif dan ke arah semakin meningkatnya harga minyak mentah dunia (per-Januari 2021 US$53/barrel-Oktober US$85 per barrel) dan sangat mungkin terjadi lagi perubahan disebabkan pergeseran (shifting) produksi dan konsumsi BBM yang menjadi penyebab utamanya. Berkaitan dengan itu, sangat relevan pembangunan kilang dan pengolahan minyak mentah dengan investasi yang sangat besar ditengah penurunan harga minyak mentah di hulu dan menurunnya hasil penjualan BBM Pertamina pada Semester I Tahun 2020 yang telah kami sampaikan terdahulu. Justru, dalam konteks pembiayaan (investasi) sektor EBT dan potensi sumber daya alam Indonesia yang sangat besar beragam, maka pemetaan potensi menjadi keniscayaan untuk dipertimbangkan lebih lanjut sebagai kebijakan strategis energi nasional. Pemetaan potensi diharapkan dapat menjadi dasar dalam merumuskan kebijakan investasi sektor energi yang tepat untuk suatu wilayah di beberapa daerah di Indonesia dan memenuhi skala ekonomis (economic scale).

Presiden juga memberikan contoh, bagaimana lambatnya kemajuan pengelolaan kilang PT. TPPI yang telah diambil alih Pertamina dan dibangun dengan modal Rp4,4 Triliun (sempat mati suri bertahun-tahun akibat utang yang bertumpuk pemiliknya, Honggo Wendratno) melalui campur tangan pemerintah. Namun demikian, restrukturisasi TPPI yang dilakukan oleh Pertamina sebagai aksi korporasi harus dipastikan aman atas kedudukan hukum para direksi Pertamina. Selain itu, mesti benar-benar didukung penuh oleh pemangku kepentingan (stakeholders) energi nasional dalam mendukung upaya mengatasi impor migas, investasi ladang-ladang minyak di luar negeri yang telah dimiliki Pertamina, diversifikasi sumber energi atau EBT, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional yang masih stagnan pada angka 5%. Pertamina harus siap melakukan revolusi energi ini, tinggal masalah dukungan konsistensi kebijakan pemerintah saja. Lalu, apa tidak akan mubazir jika Pertamina terus melanjutkan pembangunan kilang pengolahan minyak mentah?

BUMN PT Pertamina dan PLN merupakan 2 (dua) unit perusahaan negara diantara 140 unit yang lainnya adalah bentuk penguasaan negara dalam cabang produksi penting dan yang menguaasai hajat hidup orang banyak (ayat 2 Pasal 33 UUD 1945) harus dijaga kehadiran dan keberlanjutannya untuk mengemban penugasan negara sesuai Pasal 66 UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Sebab terdapat beberapa permasalahan yang harus dicarikan penyelesaiannya terkait dukungan atas industri minyak dan gas bumi secara khusus dan energi pada umumnya. Salah satu permasalahan mendesak dan perlu penyelesaian segera terkait pasokan minyak dan gas di dalam negeri, yaitu kondisi kilang-kilang yang ada saat ini sudah berumur tua. Akibatnya, hanya sedikit minyak mentah yang dapat diolah pada fasilitas pengolahan milik perusahaan negara Pertamina tersebut sehingga tidak bisa memenuhi seluruh permintaan konsumen dan harus melakukan impor. Kondisi ini pernah disampaikan oleh Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati sewaktu Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR-RI pada tanggal 5 Oktober 2020, kilang yang dimiliki pihaknya hanya mampu mengolah 3 persen jenis minyak mentah atau sangat terbatas dibanding yang ada di dunia saat ini.

Disamping itu, Pertamina perlu bekerjasama dengan entitas ekonomi lainya untuk mengelola blok-blok yang tidak lagi produktif agar beban biaya operasional dapat diminimalisir. Pertamina harus memusatkan perhatian atau fokus pada blok-blok yang menghasilkan lebih besar dan yang produktif. Skala ekonomis sekarang yang tidak terpenuhi oleh blok-blok kecil yang berproduksi 300-500 barel per hari sebaiknya dikelola berdasar prinsip usaha bersama sehingga biaya-biaya pengadaan (procurement), teknis (engineering) dan lain-lain lebih rasional. Maka itu, peran pemerintah cq. Kementerian ESDM dalam hal ini sangat diperlukan dalam memfasilitasi kebijakan penguasaan negara disektor migas ini di satu sisi.

Sementara disisi yang lain, implementasi prinsip usaha bersama dengan perusahaan lain atau swasta dengan pembagian (sharing) hasil dan manfaat secara proporsional di hulu migas ini lebih relevan menjadi skema kerjasama. Dengan demikian Pertamina tidak terlalu memiliki beban yang berat secara ekonomi dalam mengelola hulu migas yang berakibat pada penetapan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dari faktor produksi hulu migas ini ke konsumen akhir di hilirnya. Sebagaimana halnya itu terjadi pada PLN yang sebagian besar sektor hulunya (energi primer) sebagai faktor produksinya, yaitu batu bara yang dikuasai sebagian besar oleh 7 (tujuh) korporasi swasta sehingga semakin mempersulit keadaan keuangannya dengan beban utang yang ada.

Dalam kerangka inilah, Pertamina tentu akan memiliki kekuatan lebih untuk memaksimalkan kinerja lapangan-lapangan produksi dengan lebih baik karena banyak sumber daya yang terlibat. Tentu saja kebijakan dan peta jalan (road map) sektor energi menuju EBT harus mengandung kepastian dan konsisten secara bertahap dijalankan. Sebab, selain membangun sinergi di sektor hulu atas lapangan migas yang tidak ekonomis, maka Pertamina dan PLN juga mendapat penugasan pelayanan (Public Service Obligation/PSO) untuk memperluas keterjangkauan BBM dan listrik dengan harga yang sama (satu harga) dan tingkat elektrifikasi di berbagai daerah.

Dengan biaya distribusi dan logistik yang tidak mudah dan murah, penugasan BBM satu harga yang didasarkan pada Perpres 19 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak/BBM (diperbarui melalui Perpres 43 Tahun 2018 dan Nomor 69 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 191 Tahun 2014). Pertamina bahkan telah menuntaskan pembangunan SPBU BBM Satu Harga per September 2021 tersedia di 297 titik atau lokasi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, dengan 287 di antaranya dikelola oleh Pertamina.

Begitu pula halnya dengan Perusahaan Listrik Negara atau PLN yang diberikan penugasan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengaliri 433 desa yang belum teraliri listrik dengan mengucurkan dana sejumlah Rp 735 Miliar dan harus selesai sebelum akhir Tahun 2020 lalu meski di tengah pandemi virus corona. Berbagai langkah efisiensi dan efektifitas organisasi serta terobosan manajemen berhasil dilakukan dengan infrastruktur terbatas ke wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar). Berdasarkan data Kementerian ESDM, rasio elektrifikasi telah berhasil dicapai sebesar 99,40% pada Triwulan III Tahun 2021 diikuti dengan pertumbuhan kapasitas pembangkit listrik EBT yang signifikan. Sebuah capain kinerja luar biasa dalam pembangunan energi dengan realisasi minimal kontribusi investasi, dari jajaran Sumber Daya Manusia BUMN serta layak diapresiasi rakyat, bangsa dan negara.

Mengupayakan berbagai antisipasi agar kerugian tak semakin besar memang harus dilakukan secara simultan, salah satunya adalah membangun sinergitas antar BUMN di hulu dan di hilir dengan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Di sektor hulu, Pertamina harus mengupayakan agar kerugian atas transaksi perdagangan disebabkan faktor kurs rupiah terhadap dollar AS bisa dikurangi dengan meningkatkan sinergitas pengolahan migas di satu sisi. Di sisi yang lain belanja perusahaan, seperti untuk impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM), dengan menggunakan mata uang dollar AS harus dikurangi, dan pemerintah harus mendukung upaya ini dengan melarang impor BBM oleh perusahaan dagang (trader) yang memasok ke Pertamina. Oleh sebab itu, langkah renegosiasi kontrak yang menggunakan mata uang asing untuk dibayar menggunakan rupiah harus diupayakan.

Kemudahan harus diberikan pada BUMN dan Koperasi sebagai entitas ekonomi usaha bersama sebagaimana halnya sinergi antar BUMN, jangan sampai program pembangunan kilang menjadi program elitis dan menjadi beban (cost) dikemudian hari. Tentu saja kalkulasi ekonomi melalui kajian yang komprehensif atas program kemitraan sektor energi ini dari hulu ke hilir dalam hal sumber bahan baku, produksi atau pengolahan dan pelayanan penjualan BBM sampai ke konsumen masyarakat harus memperhitungkan jalur distribusi, penyimpanan (storage) terdekat dan potensi pasarnya. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka kerugian tentu akan dialami oleh Pertamina dan PLN apabila pada sisi hulunya telah kebebanan harga pokok produksi yang berasal dari sumber bahan baku, misalnya, batubara dan minyak mentah.

Adalah sebuah keniscayaan Presiden turut campur menyelesaikan sumbatan (bottle neck) ketentuan harga bahan baku ini, tidak hanya jaminan secara lisan dari pengarahan yang disampaikan dalam menuntaskan defisit minyak dan gas bumi (Migas), transaksi berjalan dan substitusi impor untuk mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tentu saja cara yang paling mungkin adalah menghindari konflik kepentingan para Menteri pembantu Presiden sendiri didalam kabinet yang cenderung mengarahkan pemerintahan ke arah korporatisme, yang hanya menguntungkan orang per orang atau sebagian kelompok pengusaha swasta.