Partai Ummat Sebut Jokowi Khianati Reformasi

Uncategorized

Jakarta, Partai Ummat – Partai Ummat menemukan realitas pahit yang harus ditelan bangsa Indonesia dengan masifnya kemunduran demokrasi selama tujuh tahun Jokowi berkuasa, yang merupakan bentuk pengkhianatan nyata terhadap reformasi.



Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi mengatakan kemunduran demokrasi ini ditandai dengan terancamnya pemilu yang jujur dan adil, intensifnya pemberangusan kebebasan berkumpul dan berpendapat, pembunuhan KPK untuk melindungi korupsi oligarki, dan meningkatnya jabatan sipil yang dipegang oleh Polri dan TNI.





“Ini jelas pengkhianatan pada reformasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata oleh para mahasiswa, aktivis, dan masyarakat luas. Reformasi memperjuangkan demokrasi, tetapi sekarang justru kita mengalami set back, kembali ke titik awal,“ tegas Ridho.



Ridho mengutip hasil temuan kajian sejumlah peneliti dan lembaga baik dari dalam maupun luar negeri yang menyebutkan bahwa Indonesia mengalami kemunduran demokrasi akibat salah kelola dan ketidakmampuan Presiden Jokowi dalam mengurus negara.



Laporan The Economist Intelligence Unit (EUI) menunjukkan skor indeks demokrasi Indonesia menurun di era pemerintahan Presiden Jokowi. Skor indeks demokrasi Indonesia mencapai 6,3 pada 2020, terendah dalam satu dekade terakhir.



Di Asia Tenggara, kata Ridho, Indonesia menempati peringkat keempat di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina. “Ini jelas memalukan. Masa negara kita kalah oleh Timor Leste yang pernah menjadi provinsi ke-27 Indonesia?”



Malaysia tercatat memiliki skor indeks demokrasi sebesar 7,19 pada 2020, menjadi yang tertinggi di kawasan. Setelahnya ada Timor Leste dengan skor indeks demokrasi sebesar 7,06. Posisinya disusul oleh Filipina dengan skor indeks demokrasi mencapai 6,56.



Laporan Indeks Demokrasi Indonesia memperlihatkan turunnya skor indeks kebebasan berpendapat yang semula 66,17 di tahun 2018 menjadi 64,29 di tahun 2019.



EIU menggarisbawahi menurunnya kebebasan berkumpul dan berpendapat sebagai pangkal utama dari penurunan kualitas demokrasi Indonesia. Rezim Jokowi memberlakukan pendekatan represif kepada kelompok yang berbeda pandangan politik.



Ridho Rahmadi menyebut sejumlah contoh mencolok bagaimana Jokowi menggunakan tangan besi dalam memberangus perbedaan politik.



“Di antaranya adalah pembubaran HTI tanpa putusan pengadilan, pembubaran FPI tanpa proses pengadilan, dihentikannya penayangan ILC di TV One, kriminalisasi aktivis Muslim dan ulama, penangkapan dan pemenjaraan aktivis KAMI, dan yang paling brutal, pembunuhan enam laskar FPI secara biadab di Kilometer 50,” kata Ridho.



Tidak cuma itu, kata Ridho, pemberangusan kebebasan bicara juga sudah masuk kampus dengan meluasnya intimidasi terhadap para mahasiswa yang berani memberikan kritik dan melakukan demonstrasi.



“Sebagai dosen saya prihatin dengan kemunduran ini. Sejumlah mahasiswa bahkan kena skorsing di kampusnya,“ kata Ridho. Dia menambahkan keadaan ini tidak terjadi pada pemerintahan sebelumnya.



Rezim Jokowi melakukan pembungkaman kebebasan berkumpul dan berpendapat, kata Ridho, tujuannya agar kekuasaan dapat dijalankan tanpa pengawalan.



“Dalam kondisi ini terjadi kolaborasi antara para oligark politik dan oligark ekonomi tanpa perlawanan sama sekali sehingga mereka leluasa dapat merumuskan berbagai kebijakan ekonomi yang pro korporasi dan kebijakan politik yang pro status quo,” demikian Ridho Rahmadi.



Sekarang, kata Ridho, jalan menuju negara otoriter sedang dipersiapkan rezim Jokowi setelah berhasil mengkooptasi, mengangkangi dan melumpuhkan semua lembaga yang seharusnya berfungsi sebagai checks and balances.



“Kita lihat sekarang bangsa ini menuju kehancuran. DPR, media, sebagian besar LSM hampir semuanya mendukung rezim. Mereka yang takut terpaksa tiarap. Mereka yang masih berani melakukan kritik akan diberi label kadrun, radikal, anti NKRI, anti Pancasila, dan sejenisnya,“ jelas Ridho.



Hukum sebagai Alat Kriminalisasi



Di bidang hukum, kata Ridho, rezim Jokowi melakukan manipulasi besar-besaran dengan menjadikan hukum sebagai alat hantam kepada mereka yang dianggap berseberangan politik.



“Hukum tidak lagi menjadi instrumen untuk mencari keadilan, tapi justru sebaliknya, di bawah rezim Jokowi hukum menjadi alat kriminalisasi untuk menghantam lawan politik. Semua lembaga hukum, termasuk kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, telah dipaksa menghamba pada rezim,“ Ridho menjelaskan.



Ridho merinci di antara praktik zalim rezim Jokowi dalam penyalahgunaan hukum adalah masifnya penggunaan UU ITE untuk melakukan kriminalisasi yang telah memakan ratusan korban tak bersalah.



“Kita tahu UU ITE dibuat DPR tujuannya untuk mengatur transaksi elektronik karena berkembangnya e-commerce di tanah air. Tetapi dalam perjalanannya undang-undang ini disalahgunakan oleh rezim Jokowi,“ Ridho menjelaskan.



Undang-undang ini, kata Ridho, tidak pernah dipakai oleh pemerintahan sebelumnya untuk melakukan kriminalisasi dan membungkam warga negara yang menyampaikan pendapatnya di media sosial.



“Kebebasan berpendapat dijamin oleh konstitusi. Tidak boleh ada kriminalisasi kepada mereka yang menyampaikan pendapat. Kita tak bisa membiarkan negeri ini jatuh dan dikelola ala negeri komunis seperti Cina atau Korea Utara yang otoriter,“ kata Ridho.



Tidak cuma itu, kata Ridho, hukum yang seharusnya membawa keadilan di zaman Jokowi justru membawa ketidakadilan yang semakin meluas.



“Sudah tujuh tahun kezaliman ini berlangsung. Hukum tajam ke lawan politik tapi tumpul ke pendukung rezim. Hukum hanya menyasar lawan, tapi buzzer yang melakukan ujaran kebencian tak ada yang diproses hukum meskipun sudah dilaporkan ke polisi,“ pungkas Ridho.