Ojo Nesu-Nesu Bu Risma!

Uncategorized

Oleh: Tardjono Abu Muas, Pemerhati Masalah Sosial

Viralnya video marah-marahnya Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini yang sering disebut Bu Risma, yang tiba-tiba meluapkan emosinya di tengah pertemuan pembahasan dana bantuan sosial di Gorontalo layak kiranya ditelisik. Karena viralnya video ini tak urung banyak mendapatkan berbagai macam respon, tak terkecuali hingga membuat Gubernur Gorontalo pun merasa tersinggung atas sikap Bu Risma terhadap warganya.

Boleh-boleh saja viralnya video tersebut oleh pendukung Bu Risma dikatakan bahwa marahnya Bu Risma adalah “marah substansial” dalam arti konon ingin mengubah karakter birokrasi yang selama ini berjalan. Namun elokkah, jika dalam video tersebut sangat terkesan bukan sebagai arahan dari atasan kepada bawahan tapi merupakan ekspresi kemarahan yang tak terkendali dari Bu Risma?

Terkait dengan judul tulisan, ‘Ojo Nesu-Nesu’ (Jangan Marah-Marah) Bu Risma ini, tak lain hanya dalam rangka saling mengingatkan, bahwa dengan marah-marah di hadapan para bawahannya tidak akan menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya.

Kenapa marah-marahnya Bu Risma layak ditelisik? Karena selama beliau menjabat menteri, paling tidak, sudah tiga kali marah-marahnya menjadi viral di jagad media sosial. Patut diduga, jangan-jangan dalam diri Bu Risma masih melekat perasaan bahwa dirinya masih seorang walikota Surabaya. Padahal, kini ruang lingkup tanggung jawab sosial beliau cukup luas meliputi 415 kabupaten, 1 kabupaten administrasi, 93 kota dan 5 kota administrasi dalam lingkup 34 provinsi.

Menghadapi permasalahan sosial bangsa yang cukup besar dan komplek ini tentu tidak cukup hanya dengan marah-marah. Bu Risma mungkin masih ingat dalam peribahasa Jawa, kita pernah mendengar ungkapan, ‘Anak Polah Bopo Kepradah’ (Anak yang berbuat Bapaknya ikut menanggung akibatnya).

Mencermati perkembangan kekinian, peribahasa tersebut malah bisa terbalik, bukannya, ‘Anak Polah Bopo Kepradah’, tapi menjadi, ‘Bapak Polah Anak Kepradah’ (Bapak berbuat Anak/rakyat menanggung akibatnya). Konsep peribahasa yang terbalik dalam masa kekinian adalah, disebabkan karena ketidakpiawaian seorang pemimpin dalam memimpin akan berakibat pada bawahan atau rakyat yang dipimpinnya.

Bu Risma mungkin masih ingat tentang semboyan yang ada dalam dunia pendidikan yang paling populer yakni: “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Meski semboyan ini dikenal luas sebagai semboyan pendidikan, namun sejatinya semboyan ini mencakup aspek yang lebih luas yakni mengenai hakikat sikap dan perilaku seorang pemimpin.

Dalam konteks kepemimpinan maka semboyan ini akan menciptakan sosok pemimpin yang disegani dan berwibawa serta mampu menempatkan diri di mana pun ia berada.

Ing Ngarso Sung Tulodo, memiliki makna bahwa seorang guru atau pemimpin, di depan harus mampu menjadi contoh bagi anak didiknya atau bawahannya, baik sikap maupun pola pikirnya. Guru atau pemimpin harus memberikan teladan yang baik bagi anak didik/bawahannya agar anak didik/bawahannya akan memiliki perilaku yang baik pula.

Ing Madyo Mangun Karsa, mengandung arti bila guru atau atasan berada di antara anak didik/bawahannya, maka guru/pimpinan harus mampu memberikan inspirasi dan motivasi bagi anak didik/bawahannya hingga anak didik/bawahannya diharapkan lebih maju lagi dalam belajar/bekerja.

Semboyan penutup yakni Tut Wuri Handayani memiliki arti bahwa guru atau pemimpin di belakang anak didik atau bawahannya diharapkan mau memberikan kepercayaan dalam melaksanakan tugasnya dengan baik.

Untuk mengurangi tekanan batin yang dapat menimbulkan emosi, layaklah kiranya Bu Risma menyempatkan diri piknik ke desa-desa wisata yang bernuansa alam persawahan dengan mencicipi menu kuliner pedesaan.