Pertumbuhan Ekonomi 7,07% Triwulan II 2021 Sangat tak Masuk Akal, Ini Penjelasan Ekonom Konstitusi

Uncategorized

Oleh: Defiyan Cori

Ekonom Konstitusi

Badan Pusat Statistik (BPS) sedang mempertaruhkan kredibilitasnya sebagai lembaga data dan statistik yang akurat, valid serta terkini (up date) atas penyebaran informasi (release) terkait kinerja ekonomi makro, khususnya pertumbuhan ekonomi pada Triwulan II Tahun 2021 yang sebesar 7,07%. Sementara itu, capaian pertumbuhan ekonomi pada Triwulan II Tahun 2020 adalah sebesar -5,32%, artinya terdapat kenaikan persentase dibandingkan satu tahun lalu sebesar 12,39%. Pencapaian yang luar biasa apabila dibandingkan dengan kinerja pertumbuhan ekonomi kuartal ke kuartal dalam setahun (quarter on quarter). Begitu pula halnya dengan pertumbuhan ekonomi berdasar tahun ke tahun (year on year) tidak pernah terjadi peningkatan sedrastis rentang Triwulan II 2020 ke Triwulan II 2021.

Menarik untuk dianalisa secara sektoral, darimana kontribusi pertumbuhan ekonomi yang melesat ini disaat Tahun 2020 lalu terjadi kemerosotan ekonomi yang sangat tajam akibat alasan pandemi Covid19. Dengan kata lain, masuk akalkah keseluruhan sektoral memberikan kontribusi positif atau meningkat disaat perekonomian nasional stagnan oleh pandemi? Apalagi selama ini kontribusi pertumbuhan ekonomi terbesar selalu berasal dari sektor konsumsi, padahal konsumsi masyarakat menurun yang ditandai oleh banyaknya industri eceran (retail) yang tutup operasi atau melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) para karyawannya?

Low Base Effect?
Menurut data BPS, perekonomian Indonesia berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku pada Triwulan II-2021 mencapai Rp4.175,8 Triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp2.772,8 Triliun. Sementara itu, PDB pada Kuartal II-2020 atas dasar harga konstan Rp2.589 Triliun dibandingkan dengan
PDB Kuartal II-2021 terdapat kenaikan sejumlah Rp183T atau 7,07%. Disamping itu, pertumbuhan ekonomi Triwulan II-2021 terhadap Triwulan sebelumnya atau Triwulan I-2021 mengalami pertumbuhan sebesar 3,31 persen (q-to-q). Dari sisi produksi, Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 12,93 persen. Sementara dari sisi pengeluaran, Komponen Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (PK-P) mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 29,07 persen.

Kontribusi pertumbuhan ekonomi dari sisi produksi berasal dari Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan yang mengalami pertumbuhan tertinggi, yaitu sebesar 25,10 persen. Dari sisi pengeluaran, Komponen Ekspor Barang dan Jasa mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 31,78 persen. Pertumbuhan ekonomi semester I-2021 terhadap semester I-2020 berhasil dicapai positif juga, yaitu sebesar 3,10 persen (c-to-c). Pertumbuhan terbesar semester ini terjadi pada Lapangan Usaha Informasi dan Komunikasi sebesar 7,78 persen. Dan, dari sisi pengeluaran semua komponen tumbuh, pertumbuhan tertinggi terjadi pada Komponen Ekspor Barang dan Jasa sebesar 18,51 persen.

Disampaikan pula, bahwa pertumbuhan (y-on-y) Triwulan II-2021 secara regional terjadi di semua kelompok pulau, terutama terlihat pada kelompok provinsi di Pulau Jawa, dengan kontribusi sebesar 57,92 persen, dan pertumbuhan (y-on-y) sebesar 7,88 persen. Pertanyaan mendasarnya adalah, kenapa pertumbuhan ekonomi begitu melonjak drastis, benarkah faktanya demikian ditengah meningkatnya pengangguran dan kemiskinan pada periode tersebut?

Sebagaimana diketahui publik, kondisi perekonomian Indonesia pada Tahun 2020 sangat terpuruk, sebagai dampak dari kemerosotan ekonomi itu, pertumbuhan ekonomi disebut pencapaiannya negatif apabila dibandingkan dengan kondisi pada Tahun 2019. Sedangkan berdasar penyebaran data dan informasi (release) yang telah disampaikan oleh Kepala BPS Margo Yuwono pada Hari Kamis, 5 Agustus 2021, pertumbuhan ekonomi diraih positif apabila dibandingkan dengan kondisi ekonomi pada Tahun 2020 yang merosot.

Pertanyaan penting lainnya, yaitu dari sektor mana saja kontribusi pertumbuhan ekonomi yang positif itu berasal? Benarkah itu merupakan kontribusi sektor pertambangan yang didukung oleh peningkatan produksi batu bara dan komoditas tambang bijih logam khususnya tembaga dan emas. Meskipun produksi migasnya mengalami kontraksi yang cukup signifikan sebagai akibat fluktuasi harga minyak mentah dunia. Bahkan, sektor pertanian justru pencapaiannya lebih rendah dibanding Kuartal II-2020 dengan alasan adanya pergeseran panen raya padi di Kuartal I-2021.

BPS beralasan, pertumbuhan ekonomi yang dicapai pada Kuartal II-2021 merupakan bagian dari efek dasar rendah (low base effect) yang dalam bisnis dan ekonomi merupakan kecenderungan perubahan absolut kecil dari jumlah awal yang rendah untuk diterjemahkan ke dalam persentase perubahan besar. Namun, hal ini tak berdasar jika dikaitkan atas lonjakan pencapaian yang terjadi dari negatif ke positif dengan selisih yang sangat besar. Sedangkan disaat kondisi perekonomian normal, selisih peningkatan pertumbuhan ekonomi berdasar kuartalan, semesteran dan tahunan tidak beranjak pada interval 1-2 persen saja. Untuk itu, pihak BPS harus mampu menjelaskan ke publik ditengah kondisi daya beli masyarakat yang rendah alih-alih memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional, malah banyak mobilitas yang terhambat sebagai bagian dari kebijakan pemerintah membatasinya dimasa pandemi Covid-19, jelas tidak masuk akal (make sense).