Pasal-Pasal Penghinaan Presiden: Menjadi Presiden Itu Memang Hina

Uncategorized

Belum lama ini, pasal-pasal di RKUHP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana) tentang penghinaan presiden kembali menyita perhatian publik. Semua pihak menentang. Sebab, aturan tentang penghinaan presiden itu sangat rentan menjadi pasal karet. Bisa ditafsirkan menurut keinginan penegak hukum.

Jadi, sangat berbahaya. Pasal-pasal itu dibuang ketika Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat sebagai presiden pada 2006.

Pasal penghinaan presiden dihapus atas gugatan sejumlah pihak. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pasal-pasal 134, 136 dan 137 di KUHP berpotensi menjadi pasal karet.

Sekarang, pasal-pasal penghinaan presiden dimunculkan kembali di RUKHP yang sedang dibahas di DPR. Pasal-pasalnya adalah 217, 218 dan 219. Ancamannya adalah hukuman penjara 5 tahun, 3 tahun 6 bulan, dan 4 tahun 6 bulan.

Semua pasal penghinaan itu berpotensi untuk ditarik ke mana-mana. Sebab, tidak ada takaran dan batasan yang jelas tentang penghinaan itu.

Yang paling keras adalah pasal 219 RKUHP. “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV”.

Pasal 219 ini sangat elastis. Sangat enak memainkannya dari segala sisi. Enak untuk memberikan label penghinaan terhadap sesuatu konten, dan enak pula memberikan kategorisasi medium penghinaan itu. Enak, sebagaimana enaknya membelit-belitkan tali karet.

Sekarang, apa sebetulnya substansi pasal-pasal penghinaan presiden? Inti dari pasal-pasal itu adalah “menyerang kehormatan presiden”.

Nah, ada beberapa hal yang perlu dicermati tentang filosofi kehormatan seorang presiden. Kalau semua ini dipahami, tidak perlu ada pasal-pasal KUHP untuk mempertahankannya. Tidak perlu ada orang yang masuk penjara.

Pertama, kehormatan itu bukanlah sesuatu yang disematkan kepada seorang presiden. Seorang presiden akan dengan sendirinya dihormati oleh rakyat jika dia melaksanakan mandat yang diberikan kepadanya, dan menunaikan semua janji yang ia ucapkan.

Manakala semua ini tampak dalam kehidupan sehari-hari, maka presiden tidak hanya dihormati melainkan secara otomatis akan dicintai dan disayangi oleh rakyat. Dicintai dan disayangi jauh lebih bernilai dari sekadar “dihormati melalui pasal-pasal KUHP”.

Kedua, kehormatan bukan pula sesuatu yang harus dilindungi dari luar diri seorang presiden. Perlindungan atas kehormatan itu akan “built-in” (melakat) sifatnya. Tingkah laku dan kebijakan presiden akan menjaga kehormatannya.

Tidak perlu pasal-pasal perlindungan kehormatan. Rakyat mayoritas akan paham apakah presidennya sedang kehilangan kehormatan atau si penghina yang kehilangan akal sehat.

Ketiga, sebagai pejabat publik, seorang presiden seharusnyalah memahami bahwa jabatan publik itu akan selalu mendapatkan sorotan. Sebab, kekuasaan presiden sangat besar. Rakyat menuntut agar presiden menggunakan kekuasaan besar itu untuk melindungi dan menyejahterakan mereka.

Keempat –dan ini yang paling penting— pada dasarnya seorang presiden itu memang sangat “hina”. Dia mengemis-ngemis agar dipilih rakyat. Kata Nabi SAW, yang memberi lebih mulia dari yang menerima.

Jadi, mengapa kita semua sibuk membuatkan pasal-pasal yang melindungi kehormatan presiden, padahal dia memang orang yang hina?[

21 Juni 202