Mengadili Presiden Joko Widodo

Uncategorized

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.

[Koordinator Advokat TPUA dalam Perkara Nomor : 265/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Pst dan Nomor : 266/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Pst]

Umar Bin Khattab RA, Khalifah kaum muslimin yang kedua pernah diadili karena secara tidak sengaja menyebabkan merpati mati dipatok ular. Kemudian, Khalifah Umar Bin Khattab dihukum membayar diyat satu domba putih.

Khalifah Umar bin Khattab RA adalah seorang pemimpin yang sangat berhati-hati dalam mengemban amanah kepemimpinan. Umar bin Khattab RA suatu kali pernah bertutur, “Seandainya seekor keledai terperosok ke sungai di kota Baghdad, nicaya Umar akan dimintai pertanggungjawabannya dan ditanya, ‘Mengapa engkau tidak meratakan jalan untuknya?’.”

Hari ini, Presiden Jokowi adalah pemimpin di negeri ini. Terlepas apapun alasannya, tentu saja semua yang terjadi di negeri ini khususnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan dan pemerintahan adalah tanggung jawab Presiden Joko Widodo.

Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, bukan hanya merpati yang mati, bukan hanya berandai keledai yang terperosok. Namun, banyak nyawa yang meninggal dunia tanpa ada kejelasan pertanggungjawabannya.

Saat Pilpres 2019, ada 894 anggota KPPS yang meninggal dunia. Tidak ada pertanggungjawaban terhadap kematian nyawa manusia ini, tidak ada penyelidikan penyebab kematian, semua wajib percaya bahwa kematian disebabkan faktor kecapekan.

Belum lama ini, ada 53 putra terbaik bangsa juga meninggal dunia karena tenggelam bersama KRI Nanggala 402. Kalau sebab tenggelam adalah udzurnya kapal, meminjam logika Umar bin Khattab dalam kasus keledai, tentu Presiden Joko Widodo juga wajib bertanggung jawab. Kenapa kapal tua tetap digunakan ? Kenapa maintenance tidak dilakukan secara ketat ? kenapa tidak segera beli Armada kapal baru ? kenapa justru sibuk bikin proyek infrastruktur dan pemindahan ibukota Negara ?

Sayangnya, sistem hukum di negeri ini tak memiliki mekanisme menuntut pertanggungjawaban atas semua itu. Rakyat hanya bisa mengevaluasi pemimpin setelah lima tahun masa jabatan berakhir, melalui Pemilu dan Pilpres.

Sebrengsek apapun Presiden, rakyat tidak bisa menghentikannya. Pendukung Presiden selalu menjual narasi, tunggu Pilpres 2024. Padahal, kerusakan yang ditimbulkan sudah sangat luar biasa. Bagaimana kalau dibiarkan hingga 2024 ? dampak destruktifnya jelas akan lebih mengkhawatirkan.

Rakyat memilih presiden langsung, tetapi tidak diberi hak untuk mengontrol dan mengevaluasi secara langsung. Rakyat wajib mengontrol presiden melalui wakilnya di DPR.

Sayangnya, DPR tidak menjalankan fungsi rakyat. DPR telah menjadi alat stempel politik eksekutif. lalu apa yang harus dilakukan rakyat ?

Itulah sebabnya, penulis bersama beberapa rekan advokat mendampingi sejumlah warga negara untuk menggugat Presiden Joko Widodo. Pintunya, adalah tindakan Presiden yang tercela yang hal itu terkategori perbuatan melawan hukum.

Ada banyak yang pesimistis, karena selama ini pengadilan yang levelnya MK pun telah mandul memberikan keadilan. Terakhir, MK juga menolak uji materi UU KPK.

Kalau MK saja seperti itu, apalagi pengadilan Negeri ? Bukankah, tidak akan jauh beda ? bukankah, ada potensi besar gugatan dikalahkan, bahkan tidak perlu memasuki pokok perkara, melainkan dapat digugurkan saat putusan sela, dengan menyatakan Pengadilan tidak berwenang mengadili ?

Penulis bukanlah orang yang mudah menyerah, tidak berorientasi hanya pada hasil, tetapi menekuni dan menseriusi prosesnya. Tujuan menggugat adalah untuk menggugurkan kewajiban dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar dalam bentuk mengoreksi penguasa (Muhasabah Lil Hukam). Motif menggugat Presiden Joko Widodo adalah untuk mencari pahala dan ridho Allah SWT.

Jadi, tentang hasilnya seperti apa itu perkara lain. Bahkan, jika akhirnya oleh pengadilan ditolak, toh akhirnya rakyat bisa menilai bagaimana model penegakan hukum di negeri ini.

Menggugat Presiden Joko Widodo adalah bentuk komitmen mentaati konsepsi Negara Hukum. Juga sebagai bukti, bahwa upaya hukum adalah bagian dari rasa cinta dan tanggung jawab terhadap masa depan negeri ini.

Satu hal yang pasti, kami hanya bersandar pada pertolongan Allah SWT, bukan pada kekuatan materi gugatan atau kemampuan mendalilkan gugatan. Hukum yang ada sudah sering mempertontonkan ketidakadilan. Jadi, hanya pertolongan Allah SWT saja yang bisa merubah keadaan.

Hanya saja pertolongan itu tidak datang sim salabim. Wajib ada ikhtiar, agar pertolongan Allah SWT diberikan. Menggugat penguasa, hanyalah salah satu ikhtiar diantara banyak ikhtiar lainnya, agar Allah SWT memiliki alasan untuk memberikan pertolongan-Nya. Mari, melayakan diri menjadi hamba yang pantas mendapatkan pertolongan Allah SWT dan kemenangan