KPK, Rest In Peace

Uncategorized

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah

Saat UU KPK direvisi, publik menilai ada pelemahan KPK yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. KPK tidak lagi menjadi lembaga ‘Super Body’, namun tak lebih dari aparat penegak hukum biasa sebagaimana kepolisian dan kejaksaan.

Terstruktur, karena bukan hanya inisiatif Presiden, tetapi pelemahan juga di aminkan DPR. Sistematis, karena dilakukan bukan hanya dengan memberangus sejumlah kewenangan yang melemahkan seperti dicangkokkannya organ Dewas namun juga memberikan wewenang untuk menjadi lemah seperti diadopsinya wewenang SP3. Masif, karena pelemahan ini bisa menyasar seluruh kasus tanpa terkecuali. SP3 Sjamsul Nursalim adalah bukti kongkritnya.

Adalah Dr. Abdulah Hehamahua, mantan Penasehat KPK memberikan penilaian berbeda. Bukan hanya dilemahkan, menurutnya revisi UU KPK menandakan KPK ‘Sakratul Maut’.

Nampaknya, ungkapan Dr Abdullah Hehamahua yang menyebut KPK Sakratul Maut lebih tepat ketimbang KPK dilemahkan. Terbukti, akhirnya pasca Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji formil terhadap Undang Undang nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan UU nomor 30 tahun 2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, internal KPK sedang terjadi ‘Mutilasi Semesta’ untuk menghilangkan semua organ KPK yang berintegritas berdalih seleksi ASN.

Cara untuk memutilasi sejumlah penyidik berintegritas KPK juga sangat telanjang. Dalih wawasan kebangsaan, yang dikaitkan dengan Ormas FPI, HTI, Penistaan Agama, bahkan hingga soal ritual doa mau makan.

Penulis menduga, siapapun yang kontra penista agama akan dianggap berwawasan kebangsaan sempit. Yang mendukung HTI dan FPI atau setidaknya bersimpati atas kezaliman yang ditimpakan rezim kepada keduanya akan diklasifikasi sebagai tak berintegritas dan tak memiliki wawasan berkebangsaan dengan dalih memiliki pandangan sempit. Dan siapapun pribadi yang menunjukkan kesalehan individual, hingga soal berdoa sebelum makan akan dianggap intoleran dan nirnilai atas wawasan kebangsaan yang bersifat universal.

Sejumlah pegawai KPK termasuk Novel Baswedan dikabarkan tidak lolos asesmen tes wawasan kebangsaan untuk alih status sebagai ASN. Banyak anasir publik yang menganggap, ini hanyalah manuver politik yang digunakan unsur pimpinan KPK untuk ‘membersihkan’ KPK dari ‘orang-orang yang bersih’.

Karena itu, tepatlah apa yang diungkapkan oleh Dr Abdullah Hehamahua ketika itu, yakni KPK sedang sakratul maut. Dan saat ini, proses mutilasi agung yang dilakukan di KPK, adalah proses akhir menuju kematian KPK dalam pengertian substansial.

Kedepannya, KPK masih ada tetapi hanya secara formal. Pemberantasan korupsi masih ada, tetapi hanya sekedar sinetron politik yang dijual demi meningkatkan citra penguasa. Secara materil, KPK telah mati, KPK telah tiada, sejak revisi UU KPK dilakukan Presiden dan DPR dan puncaknya mutilasi semesta terhadap sejumlah pegawai KPK.

Penulis sendiri, saat ditanya oleh Wartawan Media Umat sehubungan SP3 Syamsul Nursalim, penulis mengucapkan ungkapan satir. Ya, selamat datang di negeri bebas korupsi.

Walau dengan ungkapan berbeda, secara umum publik menilai KPK eksistensinya semakin tak sejalan dengan visi pemberantasan korupsi. Namun belakangan terbukti, ungkapan ‘KPK Sakratul Maut, sebagaimana diungkapkan oleh Dr Abdullah Hehamahua adalah ungkapan yang paling tepat.

KPK, Rest In Peace ! []