Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika Henry Subiakto mengatakan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tak berarti harus direvisi hanya karena banyak masalah di dalam implementasinya. Ia membandingkan UU ITE dengan kitab suci yang juga ditafsirkan bermacam-macam, bahkan dengan penafsiran yang salah.
“Tidak berarti kalau ada kasus buruk dengan interpretasi yang salah, UU itu harus diubah. Coba Anda lihat kitab suci pun sering ditafsir masing-masing dan salah, tapi kan tidak langsung mau diubah,” kata Henry dalam diskusi bertema ‘UU ITE Bukan revisi Basa-Basi’, Sabtu (20/2/2021).
Henry tak sepakat dengan angggapan bahwa Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama dan Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian berbasis SARA di dalam UU ITE adalah pasal karet. Ia mengatakan kedua pasal itu telah diuji materi di Mahkamah Konstitusi dan ditolak oleh MK.
Menurut Henry tak masalah dengan revisi, tetapi dia menolak jika kedua pasal itu dihapus dari UU ITE. “Yang penting diperbaiki, bukan normanya dihilangkan,” kata dia.
Henry pun menyinggung bahwa UU ITE merupakan produk pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2008 lalu. Namun kata dia, pemerintahan Presiden Joko Widodo yang kemudian melakukan revisi pada tahun 2016 serta menyempitkan penjelasan Pasal 27 ayat (3) bahwa yang dimaksud penghinaan adalah yang menyerang kehormatan seseorang, bukan pemerintah atau lembaga.
“UU yang banyak disalahkan oleh pelaksanaannya jangan dianggap UU ini sangat buruk, ini UU buatan SBY tahun 2008,” kata Henry soal UU ITE.