Reshuffle Kabinet dalam Sorotan

Oleh: Abu Muas T.(Pemerhati Masalah Sosial)

Reshuffle Kabinet Indonesia Maju (KIM) akhirnya terjadi juga setelah setahun lebih masa kerja KIM berjalan. Rapor merah KIM dalam setahun lebih sangat mudah terlihat, terlebih lagi setelah dua menteri KIM digelandang KPK karena kasus korupsi.

Reshuffle KIM memunculkan wajah-wajah baru untuk menduduki enam kementerian, tak pelak mengundang berbagai sorotan publik. Salah satu sorotan publik dalam tulisan ini adalah soal masuknya Sandiaga Uno ke dalam kabinet menyusul Prabowo yang lebih dulu bergabung dan kini duduk tenang dan nyaman sebagai Menteri Pertahanan (Menhan).

Kini, telah tampak secara zahar (nyata) dua sosok yang dulu sebagai kandidat Capres-Cawapres Prabowo-Sandiaga (P-S) yang pada Pilpres lalu membawa simbol 02 keduanya masuk kabinet, duduk di kursi empuk kementerian. Sementara beberapa tokoh pendukungnya masuk penjara.

Pascareshuffle KIM yang semakin memperjelas P-S masuk kabinet, maka berseliweranlah di media sosial (medsos) unek-unek bukan hanya muncul dari pendukung 02 tapi juga muncul pula dari pendukung sebelah (01).

Wajar-wajar saja, jika muncul unek-unek pendukung 01 yang tidak kebagian jatah di antaranya ada yang melontarkan kekecewaannya dengan mengatakan, “buat apa ada pilpres hingga berdarah-darah kalau akhirnya kedua pasangan bersama dalam Istana”.

Berbeda dengan unek-unek pendukung kubu 01, kekecewaan pendukung 02 ditumpahkannya melalui medsos soal jejak digital yang berupa “meme-meme atau tulisan” janji-janji manis kandidat Capres-Cawapres 02 untuk mendulang suara pemilih bagi dirinya dan partainya. Inilah kondisi potret demokrasi kita yang selama ini menjadi “ikon” yang selalu didengung-dengungkan.

Terlepas dari kekecewaan sebagian kecil pendukung 01 dan umumnya pendukung 02, apa yang terjadi pascareshuffle kabinet hendaknya menjadi pembelajaran politik bagi para pemilik hak pilih untuk lebih cerdas lagi dalam soal pilih-memilih pemimpin baik memilih sosoknya langsung maupun yang diwadahi partai.

Pertanyaannya, akankah hal serupa yang terjadi saat pilpres dan pileg 2019 terulang kembali pada pilpres dan pileg 2024 yang akan datang? Jika terulang lagi, maka layak timbul pertanyaan, “kapokmu kapan?”.