TNI di Tengah Rakyat yang Terbelah

Oleh Dr. Masri Sitanggang

Rakyat sudah terbelah. Kita bisa memulai kekacauan kapan saja, namun tidak tahu kapan bisa mengakhirinya. Maka, TNI menjadi tumpuan harapan terakhir agar negeri ini tidak terkoyak. Pemerintahan boleh bubar berkali-kali, tetapi negara dan bangsa harus tetap dipertahankan.

Bulu kudukku sempat juga berdiri, merinding. Sebuah video yang menunjukkan kerumunan massa mengelilingi mobil zeep tentara menyebar luas. Massa bernyanyi dengan irama “mana di mana anak kambing saya” dengan syair yang di ubah. Syair lagu itu menyindir –malah bisa disebut menghujat, tentara. Tidak dijelaskan, bilakah kejadian itu persisnya ? Tapi aku menerima postingan itu 24 November 2020. Teks yang menyertai postingan video hanya menyebut : “Mobil tentara yang mau copotin baliho HRS, dicegat massa di Padarincang, Serang, Banten.

Terbayang aku hal-hal buruk akan segera terjadi. Soalnya, dua video viral lain tentang pernyataan sikap petinggi TNI, dalam rentang waktu yang berdekatan sejak kepulangan HRS (10/11/2020), beredar luas pula. Keduanya bisa dihubungkan –baik langsung maupun tidak, dengan aktivitas kepulangan HRS dan senarai acara kemudiannya yang digelar simpatisan HRS.

Video pertama adalah peringatan tegas Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto terkait pentingnya persatuan dan kesatuan demi menjaga stabilitas nasional. Hadi berkata : “Jangan kita biarkan persatuan dan kesatuan bangsa itu hilang atau dikaburkan oleh provokasi dan ambisi yang dibungkus dengan berbagai identitas.” Hadi mengingatkan : “siapa saja yang mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa akan berhadapan dengan TNI.”

Peringatan ini dinilai oleh banyak pengamat sebagai mendadak. Diunggah di akun Twitter @Puspen_TNI, Minggu 15 November 2020, lima hari setelah penyambutan HRS di bandara Soeta yang sangat fenomenal itu. Memang, Panglima tidak mengarahkan peringatannya kepada pihak tertentu. Tapi dapat dirasakan bahwa peringatan itu mengarah pada ancaman keamanan yang muncul dari dalam negeri, bukan dari luar. Karena trending topic pada hari-hari itu menyangkut politik dan itu berkaitan dengan kedatangan IB HRS, maka sulit dipungkiri bahwa peringatan mendadak itu dimaknai oleh banyak pengamat sebagai respon terhadap situasi “demam” kepulangan sang Imam.

Video kedua adalah instruksi Pangdam Jaya, Mayjen TNI Dudung Abdurahcman, ke jajarannya untuk mencopoti baligho HRS. Di situ, Pangdam dengan tegas menyatakan : “Kalau perlu FPI bubarkan saja. Kalau coba-coba dengan TNI, mari.” Itu terkonfirmasi. Seusai apel kesiapan bencana dan pilkada serentak, di Lapangan Silang Monas, Jakarta Pusat, Jumat (20/11/2020) pagi, Dudung kepada wartawan berkata : ”Oke, ada berbaju loreng menurunkan baliho Habib Rizieq, itu perintah saya,” kata Dudung,

Kejadian di Padarincang –pencegatan massa terhadap mobil tentara yang mau copotin baliho HRS, tentu dapat dilihat sebagai respon balik masyarakat terhadap dua video sikap petinggi TNI itu. Inilah yang membuat aku merinding.

Terbayang olehku darah akan segera tertumpah membasahi bumi pertiwi, perang saudara akan terjadi. Ngerinya lagi, TNI diperhadapkan dengan rakyatnya sendiri ! Hiii.., Indonesia akan segera meluncur ke jurang kehancurannya. Sungguh, aku belum rela hal itu terjadi di masa hayatku.

Untunglah Pangdam Jaya segera melakukan klarifikasi yang membuat rasa lega. Senin (23/11/2020), di Makodam Jaya, Pangdam –didampingi Kapuspen TNI, Mayjen TNI Ahmad Riad— mengatakan : “Saya sampaikan kalau perlu, kalau perlu bubarkan kan FPI itu. Kalau Pangdam, TNI tidak bisa membubarkan, itu harus pemerintah,” katanya. Ditegaskan pula, bahwa Panglima TNI tidak pernah bicara soal pembubaran FPI; dan kata Ahmad Riad, pencopotan baligho HRS pun bukan atas perintah Panglima TNI.

Selanjutnya, Rabu (25/11/2020), saat ngopi bareng ulama di kantornya. Pangdam Jaya berkata : “Saya tidak pernah mengajak bahwa FPI atau yang lainnya sebagai musuh. Itu tidak ada. Itu saudara-saudara kita. Alangkah baiknya kalau ada mediasi, berdialog, dihadiri oleh seluruh komponen.” Ia meminta tidak ada lagi pihak-pihak membenturkan antara TNI dengan ormas Islam, termasuk FPI.

Sekali lagi, pernyataan klarifikasi itu sunggguh sangat melegakan hati. Bayangan akan petump[ahan darah sesame anak bangsa sirna seketika. Tetapi kekhwatiran hal yang menakutkan itu akan terjadi, tetap saja ada. Soalnya, di lapangan, memang sangat dirasakan adanya pihak-pihak yang berkeinginan membenturkan umat Islam dengan pihak keamanan (TNI dan Polri). Ini berpotensi besar menimbulkan kekacauan.

Rajinnya pihak tertentu mencari-cari kesalahan para ustadz ketika berceramah dan kemudian melaporkannya ke pihak kepolisian adalah indikasi kuat ke arah itu –ke arah membenturkan Umat Islam dengan TNI-Polri. Munculnya “gerakan” kirim karangan bunga ke Markas Kodam Jaya –terlepas dari apakah itu real atau tidak, yang memberikan dukungan ke Pangdam Jaya atas instruksi pencopotan baligho HRS dan “kalau perlu” bubarkan FPI, pun adalah juga indikasi kearah itu. Apalagi kemudian, ada pula rakyat sipil yang secara demonstrative ikut menurunkan bahkan membakar baligho itu dan menyatakan penolakan terhadap HRS dalam berbagai bentuk ekspresi.

Tetapi, memang, ini resiko dari sebuah masyarakat yang terbelah. Dalam masyarakat yang terbelah seperti ini, lembaga yang sejatinya berada di tengah dan jadi penengah (dalam hal ini TNI, Polri dan penegak hukum lainnya), oleh satu pihak diupayakan untuk ditarik dan digunakan untuk memukul pihak sebelah. Tidak pula sulit menentukan pihak sebelah mana yang berpeluang besar mempengaruhi TNI dan Polri dan penegak hukum lainnya, sudah barang tentu adalah pihak yang dekat dengan kekuasaan.

Jujur harus diakui, rakyat tampaknya terbelah sejak Pilkada DKI 2017 menyusul kemenangan Anies Baswedan; dan semakin terbelah menjelang dan sesudah Pilpres 2019. Sayangnya, pemenang Pilpres 2019 pun sepertinya kurang mampu secara persuasip mendinginkan suasana dan menyatukan kembali anggota keluarga besar bangsa bernama Indonesia ini.

Umat Islam –yang merupakan bagian terbesar dari anak bangsa ini, diakui atau tidak, merasa diperlakukan secara tidak adil. Meraka merasa terus dipojokkan dengan berbagai isu (seperti radikal) dan merasa sedang dijadikan objek kriminalisasi.

Dalam suasana kebathian seperti itu, wajar saja umat Islam mendambakan sosok pemimpin yang dapat mewakili mereka untuk menumpahkan pikiran dan perasaannya. Apalagi memang, saat ini partai-partai yang mestinya menjadi penyuara nurani rakyat ternyata asyik dengan mainannya sedndiri-sendri. Tidak bisa menangkap getar hati rakyatnya. Maka, ulama (seperti HRS) adalah satu sosok pilihan dan “kriminalisasi” terhadapnya, misalnya, akan membangkitkan semangat perlawanan.

Dalam situasi ekonomi teruk yang dialami bangsa saat ini, hendaknya semua pihak, terutama pemerintah, lebih fokus pada upaya keluar dari kesulitan. Untuk itu, benar, persatuan dan kesatuan sangat penting.

Maka, hal-hal yang bisa menimbukan disharmoni antar anak bangsa harus sekuat tenaga dihindari atau diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan –bukan justeru dengan pendekatan hukum yang berjenis tebang pilih atau tajam sebelah. Langkah nyata pemerintah mengembalikan rakyat yang sudah terlanjur terbelah menjadi solid kembali harus ada dan jelas. Jangan sampai ada bagian anak bangsa ini, apalagi yang mayoritas, merasa terdzalimi. Kemunculan RUU-RUU yang kontroversi, yang telah nyata memicu munculnya berbabagai keributan, hendaknya ditiadakan. Keberadaan Kelompok Buzzer, yang kerjanya tak lebih dari menghancurkan kelompok yang dianggap lawan, sudah saatnya diakhiri. Buzzer memang diperlukan untuk membangun citra penguasa, tapi tidak untuk membangun bangsa.

TNI, saat ini, betul-betul menjadi tulang punggung keutuhan bangsa. Sebagai alat utama pertahanan negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, TNI menjadi tumpuan harapan terakhir agar bangsa ini tidak terkoyak dan tercabik. TNI harus bisa menempatkan diri sebagai penjaga keutuhan bangsa dengan bijak dan beribawa di antara masyarakat yang terbelah.

TNI tidak boleh ditarik-tarik ke sebelah untuk memukul sebelah yang lain. TNI harus tetap berdiri senbagai penjaga bangsa dan negara. Pemeritahan boleh berganti atau bubar berkali-kali, tetapi negara dan bangsa ini tidak boleh sekali pun.

Cepat atau lambat, percayalah, bila pihak tertentu sudah berhasil membenturkan TNI dengan rakyatnya, itulah saat di mana negara ini menuju kehancuran. Kekacauan bisa kita mulai kapan saja, tapi percayalah, kita tidak akan tahu kapan bisa mengakhirinya.
Wallahu a’lam bisshawab.

Penulis adalah Ketua Panitia Masyumi Reborn dan Ketua Komisi di MUI Medan.