Pengamat Militer & Intelijen: BIN Terapkan Ambang Batas Standar Hasil PCR Test Lebih Tinggi

Badan Intelijen Negara (BIN) menerapkan ambang batas standar hasil PCR test lebih tinggi dibandingkan institusi/lembaga lain.

Demikian dikatakan dikatakan Pengamat Militer & Intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati dalam pernyataan kepada suaranasional, Rabu (30/9/2020). “Nilai CT QPCR (ambang batas bawah 35, namun untuk mencegah orang tanpa gejala/OTG lolos screening BIN menaikkan menjadi 40) termasuk melakukan uji validitas melalui triangulasi 3 jenis gen yaitu RNP/IC, N dan ORF1ab,” ungkapnya.

Kata perempuan yang akrab dipanggil Nuning ini, dalam melakukan proses uji spesimen, laboratorium BIN menggunakan 2 jenis mesin Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), yaitu jenis Qiagen dari Jerman dan jenis Thermo Scientific dari Amerika Serikat.

“Mesin-mesin itu memiliki sertifikat Lab BSL-2 yang telah didesain mengikuti standar protokol laboratorium, telah dilakukan proses sertifikasi oleh lembaga sertifikasi internasional, World Bio Haztec (Singapura) serta melakukan kerja sama dengan LBM Eijkman untuk standar hasil tes. Sehingga layak digunakan untuk RT-PCR yang sesuai standar,” ungkapnya.

Menurut Nuning, Dewan Analis Strategis Medical Intelligence BIN, termasuk jaringan intelijen di WHO menjelaskan fenomena hasil tes swab positif menjadi negatif bukan hal yang baru. Fenomena ini disebabkan tiga hal.

Pertama, RNA/protein yang tersisa (jasad renik virus) sudah sangat sedikit bahkan mendekati hilang pada threshold sehingga tidak terdeteksi lagi. “Apalagi subjek tanpa gejala klinis dan dites pada hari yang berbeda. OTG/asimptomatik yang mendekati sembuh berpotensi memiliki fenomena tersebut,” jelasnya.

Kedua, terjadi bias pra-analitik yaitu pengambilan sampel dilakukan oleh 2 orang berbeda, dengan kualitas pelatihan berbeda dan SOP berbeda pada laboratorium yang berbeda. Sehingga sampel Swab sel yang berisi Covid tidak terambil atau terkontaminasi.

Ketiga, sensitivitas reagen dapat berbeda terutama untuk pasien yang nilai CQ/CT-nya sudah mendekati 40. Dalam kaitan ini, BIN menggunakan reagen perkin elmer (USA), A-Star Fortitude (Singapura), Wuhan Easy Diag (China). Reagen ini lebih tinggi standar dan sensitivitasnya terhadap Strain Covid-19 dibandingkan merk lain seperti Genolution (Korea) dan Liferiver (China) yang digunakan beberapa rumah sakit.

“Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi perbedaan uji Swab antara lain adalah kondisi peralatan, waktu pengujian, kondisi pasien, dan kualitas test kit. BIN menjamin kondisi peralatan, metode, dan test kit yang digunakan adalah gold standard dalam pengujian sampel Covid-19. Kasus false positive dan false negative sendiri telah banyak dilaporkan di berbagai negara seperti Amerika Serikat, China, dan Swedia,” jelas peraih gelar doktor bidang intelijen ini.

Kedua, untuk masalah pelaporan. Nuning menjelaskan, dalam menggelar kegiatan tes massal di berbagai titik, BIN berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah setempat, termasuk di dalamnya Dinas Kesehatan serta Gugus Tugas Daerah untuk membantu menentukan titik-titik lokasi yang menjadi klaster penyebaran Covid-19. “Sejak Satgas Intelijen Medis beroperasi pada April 2020, BIN selalu melaporkan hasil tes Swab yang selama ini dilakukan kepada Kemenkes dan Gugus Tugas Penanganan Covid-19,” terang Nuning.