Kontradiksi Jokowi Menangani Corona dan Pilkada Serentak

Penulis: Smith Alhadar
Editor: Abdurrahman Syebubakar

Gelombang pertama penularan covid-19 di Indonesia belum mencapai puncak. Badan Kesehatan Dunia (WHO) melabeli Indonesia sebagai negara keempat terburuk di dunia dalam menangani pandemi ini. Ikatan Dokter Indonesia menyatakan, Indonesia berpotensi menjadi episentrum covid-19 dunia. Kendati demikian, Jokowi ngotot menyelenggarakan pilkada serentak pada 9 Desember mendatang, yang tahapan-tahapannya mengundang kerumunan massa. Sudah beberapa calon kepala daerah dan penyelenggara Pilkada terpapar covid-19, padahal kampanye yang mengundang kerumunan massa besar belum berlangsung. Hal ini menimbulkan kekhawatiran publik. Berbagai pihak, termasuk NU dan Muhammadiyah, mendesak Jokowi menunda pilkada sampai tercipta kondisi yang kondusif.

Penundaan dimungkinkan oleh Perppu No 2/2020. Terutama pasal 201A ayat 3 yang berbunyi, “Pemungutan suara serentak pada Desember 2020 ditunda dan dijadwalkan kembali apabila tidak dapat dilaksanakan karena bencana nasional covid-19 belum berakhir.” Ngototnya Jokowi didasarkan alasan bahwa pilkada bertujuan memenuhi hak konstitusional peserta untuk dipilih dan memilih. Ia menjustifikasi penyelenggaraan pilkada sesuai jadwal dengan merujuk pada pemilu di Perancis, Jerman, Korsel, dan Singapura, yang telah berlangsung dengan sukses di masa pandemi corona.

Masalahnya, berbeda dengan rezim Jokowi, pemerintah di negara-negara itu menanggulangi corona secara saintifik dan konsisten. Rakyat mereka pun disiplin menjalankan protokol kesehatan dan percaya pada metode penanganggulangan yang dijalankan pemerintah mereka. Di sini narasi bahaya covid-19 yang dibangun rezim Jokowi penuh kontradiksi sehingga membingungkan rakyat yang, pada gilirannya, melemahkan narasi bahaya. Pertama, rezim Jokowi sejak awal tidak serius menghadapi pandemi ini. Malah sempat hendak memanfaatkan wabah berbahaya ini untuk menggenjot ekonomi domestik dengan membuka pintu lebar-lebar bagi turis mencanegara di saat banyak negara melakukan lockdown. Jokowi bahkan mengaku menyembunyikan fakta bahwa corona telah memasuki Indonesia.

Kedua, para menteri ramai-ramai memproduksi informasi tentang corona dan penangkalnya yang menyesatkan. Kementerian Pertanian memproduksi kalung dari pohon minyak kayu putih yang diklaim sebagai obat mujarab untuk menangkal corona. Artis-artis diminta aktif menyoalisasikan inovasi aneh ini. Sebelumnya, Kementerian Kesehatan mengimpor jamu dari Cina yang juga diklaim sebagai obat penangkal corona. Belakangan, rezim mengakui tak ada satu pun jenis jamu yang dapat menyembuhkan corona. Ketiga, meskipun menyerukan penanganan corona dilakukan secara saksama berbasis ilmu pengetahuan, kenyataannya rezim Jokowi sering mengabaikan nasihat para ahli yang lebih menekankan pada keselamatan masyarakat sebagai prioritas daripada menyelamatkan ekonomi. Semua negara yang relatif berhasil menangani corona adalah yang memprioritaskan keselamatan manusia melalui metode lockdown. Memang cara ini meminta pengorbanan ekonomi yang besar — yang dijauhi rezim Jokowi — tetapi pada akhirnya memberi hasil yang menggembirakan. Toh, kebijakan menyelamatkan manusia beriringan dengan keselamatan sektor ekonomi sekaligus yang dijalankan rezim pada akhirnya hanya berakibat pada tingginya kasus positif corona dan terpukulnya ekonomi. Artinya, tidak ada raihan positif dari kebijakan ini. Toh, kita sekarang telah memasuki resesi ekonomi.

Keempat, kebijakan PSBB tidak dijalankan secara konsisten dan disiplin tinggi. Kerumunan orang masih terjadi di mana-mana. Juga masih banyak yang tidak menerapkan physical distancing dan memakai masker. Semua ini terjadi karena tidak ada sanksi konkret sebagai deterrent terhadap masyarakat di tengah meluasnya kasus positif corona hingga ke pelosok-pelosok negeri ini. Aparat mendisiplinkan masyarakat untuk taat pada protokol kesehatan hanya di jalan raya, sementara di pemukiman penduduk di mana interaksi sosial terjadi secara intens tidak dijaga ketat.

Akibat pandemi corona yang berakumulasi dengan setumpuk masalah yang tercipta dari salah urus negara sejak Jokowi berkuasa serta resesi global, Indonesia memasukki resesi yang menghantam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Pada kuartal III, diperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh negatif -3%. Pada kuartal II ekonomi tumbuh negatif -5%. Dengan demikian, pengangguran meningkat, kebangkrutan perusahaan terus terjadi, dan daya beli masyarakat anjlok. Sementara itu, kemampuan keuangan rezim Jokowi sangat terbatas untuk melakukan stimulus ekonomi.

Maka, ngototnya Jokowi menyelenggarakan pilkada nampaknya berdasarkan pada tiga pertimbangan berikut. Pertama, pertimbangan ekonomi. Pilkada yang akan menggelontorkan uang dalam jumlah besar ke masyarakat diharapkan dapat berfungsi sebagai stimulus ekonomi yang akan meningkatkan konsumsi. Hal ini diharapkan dapat menahan stabilitas pranata sosial yang mulai rapuh. Kedua, pertimbangan politik. Jokowi ogah tunduk pada ormas-ormas besar maupun tokoh-tokoh berpengaruh yang dipandang akan melemahkan posisi politiknya. Sekali ia tunduk, akan menjadi preseden yang membuka jalan bagi tekanan-tekanan lain yang muncul dari publik yang sedang terlilit berbagai masalah. Tapi sikap Jokowi ini keliru, karena menantang arus massa ini justru kontradiktif bagi upaya menguatkan kekuasaannya. Kalau nanti pilkada tetap dijalankan dan berakibat pada membludaknya kasus positif covid-19, maka legitimasinya akan semakin tergerus.

Keempat, pertimbangan prestise keluarga. Pilkada ini akan diikuti anak dan mantu Jokowi. Nyaris mustahil faktor Jokowi tidak akan berpengaruh positif pada elektabilitas kerabatnya itu. Bahkan, boleh saja kita menduga Jokowi akan menggunakan pengaruhnya melalui birokrasi dan institusi politik lain untuk memenangkan mereka. Kekalahan mereka akan menjatuhkan prestise Jokowi. Sebaliknya, kemenangan mereka akan mengangkat gengsi keluarga Jokowi. Ia memang sedang membangun dinasti politik. Dan inilah waktunya. Kalau pilkada ditunda dalam waktu lama — ini disebabkan wabah corona masih akan berlangsung relatif lama — keluarga Jokowi bisa kehilangan momentum. Tetapi Jokowi lupa bahwa sikapnya ini justru akan mempercepat proses pembusukan politik rezimnya.

Akhirnya, terkait pilkada, Jokowi menghadapi buah simalakama: maju pantang mundur akan menggerus legitimasinya. Sedangkan mundur akan melemahkan posisi politiknya. Melihat track recordnya dalam kebijakan publik — Jokowi belum pernah mundur dari setiap kebijakannya kendati mendapat tekanan berat dari publik dan mahasiswa — Jokowi akan maju terus. Dengan demikian, arus perlawanan terhadap kekuasaannya akan semakin besar ke depan. Terkait covid-19, kalau nanti prediksi IDI bahwa Indonesia akan menjadi episentrum covid-19 dunia terbukti benar — nampaknya akan terbukti benar karena kontradiksi-kontradiksi dalam penanggulangannya –membuat posisi Indonesia semakin sulit.

Pariwisata tertekan, investor asing ogah masuk, dan perdagangan internasional Indonesia pun terganggu. Tak ada pilihan lain bagi rezim Jokowi untuk menggerakkan ekonomi kecuali menangani corona secara saksama berbasis saintifik. Cara ini, meskipun sudah sangat terlambat, harus dilakukan segera dan konsisten. Jokowi juga harus menunda pilkada untuk memupus kekhawatiran publik. Kalau kedua hal ini tidak dilakukan, bisa jadi kekuatan oposisi internal dan tekanan ekonomi eksternal akan menggerogoti lebih jauh sendi-sendi negara yang makin rapuh.

Maka muncul pertanyaan: mungkinkah rezim Jokowi yang sudah busuk ini dapat bertahan hingga 2024? Sejauh ini, tidak ada rezim yang jatuh karena covid-19. Tapi merupakan keajaiban bila negara yang dikelola secara amatiran dengan melanggar konstitusi dan berbagai UU secara besar besaran ini dapat bertahan lama.