Ketua DKPP: Sejarah akan Mencatat DKPP Pernah Memberhentikan Evi Novida Ginting

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof. Muhammad menegaskan DKPP tidak akan mengubah Putusan DKPP Nomor 317 terkait pemberhentian Anggota KPU RI Evi Novida Ginting.

Keputusan itu, kata dia, tidak diambil dengan asal-asalan. Bahwa majelis etik dalam pleno telah memutuskan pemberhentian tetap, maka hal itu sudah dipertimbangkan dengan sangat cermat, dengan sangat terukur, dan siap untuk dipertanggungjawabkan.

“Biarlah sejarah mencatat, lembaga peradilan mencatat bahwa DKPP pernah memberhentikan (Evi Novida Ginting-red). Kalau persoalan dia diaktifkan kembali sudah dijelaskan oleh Prof Jimly, tetapi Insya Allah kami yang mengambil keputusan itu, sudah berkomitmen untuk tidak mengubah keputusan nomor 317,” kata Prof Muhammad, Kamis (13 Agustus 2020).

Muhammad juga mengacu kepada amanat UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 458 Angka 13 menyatakan sifat putusan DKPP adalah final dan mengikat. Dan, saat ini negara belum membentuk lembaga mahkamah etik yang bisa membanding putusan peradilan etik DKPP.

Sampai hari ini, kata dia, baik UU no 7 tahun 2017, pembuat undang-undang DPR, dan pemerintah belum membuat lembaga banding etik. Muhammad mengatakan, jika DKPP mengubah putusan nomor 317, itu sama saja dengan melanggar konstitusi.

“Saya tegaskan, atas nama lembaga DKPP bahwa jika besok Presiden mengembalikan saudara Evi, hal itu tidak mengubah putusan pemberhentian tetap saudara Evi di lembaga peradilan etik DKPP,” jelasnya.

Wasit yang Adil

Muhammad juga setuju dengan konsep atau pemikiran dari Prof. Jimly bahwa hukum dan etika ini jangan diperhadapkan-hadapkan.

“Dalam peraturan DKPP yang dimaksud pelanggaran etik itu bukan hanya menerima suap, memihak kepada pasangan calon, tapi kami juga menekankan pada profesionalitas, keahlian tata kelola pemilu. Penyelenggara ini dipercaya rakyat, jika kita tidak ahli bisa rusak pemilu ini,” ujarnya.

Muhammad juga mengingatkan, jika bukan ahlinya yang menjadi penyelenggara pemilu dan dipercaya untuk menjadi anggota KPU, anggota Bawaslu, dan yang bersangkutan tidak bekerja secara profesional.

“Bisa dibayangkan sebuah pertandingan sepakbola kalau wasitnya curang yang terjadi adalah kekacauan. Tapi kalau wasitnya fair, yang kalah dengan 10 bola pun dengan yang menang akan meninggalkan lapangan dengan ‘cipika-cipiki’ bahkan bertukar kostum, itu karena wasitnya fair.”

Dalam perspektif etika, Prof. Muhammad pernyataan bahwa hukum itu wilayah hukum, DKPP tidak boleh masuk. Namun demikian, DKPP melihat administrasi pemilu adalah bagian dari profesionalitas.

Artinya, jika membiarkan administrasi pemilu dilakukan dengan tidak cermat, maka konsekuensinya seseorang yang harusnya memenangkan pemilu kemudian tercederai.

“Saya pernah sampaikan di beberapa forum bahwa di tahun 2014 saya mendengarkan kampanye caleg yang mengatakan di lapangan terbuka seperti ini: Bolehlah dia menang di TPS, tapi nanti kita lihat siapa yang dilantik,” ungkapnya.

“Inilah yang terjadi ketika penyelenggara tidak profesional, bermain-main dengan oknum peserta pemilu, mempermainkan angka-angka. Si A yang harusnya menang di kotak suara, berubah ketika di kecamatan, berubah ketika di kabupaten/kota, berubah ketika di provinsi dan berubah ketika di RI,” ungkap Guru Besar Ilmu Politik Universitas Hasanudin ini.

“Kita tidak mau orang yang menang di kotak suara yang riil dipilih oleh rakyat melalui satu, satu, satu dikumpulkan suara itu dengan jerih payah, kemudian berubah pada rekapitulasi di atasnya. Karena ketidakprofesionalan itulah kasus yang terjadi sehingga kita memberhentikan anggota KPU RI,” pungkasnya.