Erick Tohir Melakukan Makar Terhadap Konstitusi Ekonomi

Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Tohir menyampaikan, bahwa Kementerian BUMN telah melakukan konsultasi dengan perusahaan konsultan, McKinsey & Co. dan menemukan bahwa 68% dari 142 perusahaan BUMN ini tak efisien apabila terus dioperasikan. Pernyataan Erick Tohir ini terkait dengan jumlah BUMN yang terus menurun, yaitu dari142 unit menjadi 107. Dari 107 unit tersebut, dua Wamen [Wakil Menteri] BUMN ditugasi mengelola 40 unit BUMN, sisanya dimasukkan oleh Erick Tohir dalam rencana konsolidasi dan restrukturisasi, demikian uraiannya kepada media pada tanggal 5 Agustus 2020.

Bahkan, Erick Tohir mengungkapkan, pada Tahun 2045 nanti bukan tidak mungkin tak akan ada lagi BUMN sebagai perusahaan pelat merah lantaran daya beli masyarakat yang terus meningkat sehingga tak dibutuhkan lagi perusahaan-perusahaan yang mendapatkan penugasan dari negara. Pernyataan Erick Tohir ini jelas asal bunyi dan bernuansa punya kepentingan ekonomi pribadi atau kelompok tertentu dan secara terang-terangan merupakan makar terhadap konstitusi ekonomi Pasal 33 UUD 1945, terutama ayat 2 dan 3.

Baca juga:  Abu Janda Lagi

Dasar Hukum Rasionalisasi
BUMN memang tidak harus ada di semua sektor, tapi memangkas tanpa dasar hukum yang pasti tentu tidak salah publik menduga ada kepentingan pihak tertentu (keterlibatan konsultan asing), apalagi rekam jejak (track record) Erick Tohir sebagai orang yang terbiasa melakukan transaksi di pasar bursa. Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar punya konstitusi ekonomi bukan soal selera Menteri BUMN dan menggunakan konsultan asing untuk menafsirkan penguasaan negara atas cabang produksi penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk mengurangi jumlah unit BUMN jelas pelanggaran konstitusi yang amat berat. Sebab ,penguasaan negara itu bukan hanya sebatas pembuat kebijakan (regulator) saja dalam bidang ekonomi, kalau cuma sebagai regulator, maka tak perlu ada negara (DPR dan Presiden), karena korporasi swasta bisa melakukan kartel atau hal lain yang menyesuaikan keadaan atau situasi perekonomian.

Kata “jangan-jangan” tidak ada lagi BUMN yang disampaikan secara terbuka ini menjadi persoalan atas pengabaian pemahaman pejabat Negara atas konstitusi, terutama Pasal 33 UUD 1945 yang telah terjadi berulang kali. Pernyataan Erick Tohir ini bisa menjadi preseden buruk bagi publik untuk tidak taat lagi pada konstitusi Negara beserta peraturan dan per-Undang-Undangan yang berlaku. Jika DPR mendiamkan ini, maka DPR dapat dianggap terlibat dalam penugasan konsultan asing dalam merestrukturisasi BUMN dan pengabaian pemahaman atas Pasal 33 UUD 1945 atas keberadaan perusahaan negara (BUMN) yang bersejarah dalam melawan penindasan korporasi swasta VOC yang berparadigma (sistem) ekonomi kapitalisme dan kolonialisme Belanda selama 350 tahun lebih.

Baca juga:  Skenario Kembalinya HRS

Kebijakan Erick Tohir ini jelas tidak sejalan dengan semangat Trisakti dan Nawacita Presiden Joko Widodo yang salah satunya terkait kemandirian ekonomi bangsa dan negara saat kita memperingati 75 Tahun Proklamasi Kemerdekaan. Apakah Presiden Joko Widodo akan membiarkan tindakan inkonstitusionalisme dan tidak berdasar semangat nasionalisme ini terulang lagi sehingga dapat menghilangkan kepercayaan publik (public trust) pada kepemimpinan nasional yang merugikan posisi Presiden?