ITB dan Sentimen AntiOrang Miskin

Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

Anak saya yang akan melamar ke jurusan Hayati ITB, jalur mandiri, mengatakan bahwa ITB mengumumkan secara mendadak bahwa orang tua calon pelamar mahasiswa ke ITB harus menunjukkan rekening Rp. 100.000.000. Saya menyanggupi saja, demi membahagian anak. Namun, buat saya ini adalah kegagalan kedua ITB setelah kegagalan pertama berhasrat menyingkirkan Prof. Din Syamsudin dari ITB dari anggota MWA ITB, karena sentimen anti-Islam.

Mengapa gagal?

Pembebanan bea puluhan juta dan menunjukkan rekening Rp. 100.000.000 untuk masuk ke ITB, di masa krisis ekonomi saat ini, telah mendiskriminasi peluang orang2 miskin yang cerdas untuk mendapatkan pendidikan unggul. Penjelasan ITB bahwa uang itu akan dipake untuk subsidi silang bagi mahasiswa yang tidak mampu, dengan block sejumlah 30% untuk orang2 mampu, menyisakan peluang pertarungan masuk ITB hanya 70% bagi orang miskin, dan sebaliknya 100% bagi orang2 kaya.

Di masa lalu, ITB adalah kampus rakyat, karena peluang kebersamaan dimulai dengan sama status bagi semua mahasiswa. Di jurusan Geodesi, misalnya, tempat saya kuliah tahun 80an, tercatat beberapa senior saya, seperti adik Sultan Hamangkubono, anak menteri pak Harto a. l. anak Mendagri Yogi S Memet dan anak Menteri Kesehatan, dll. Dan tentunya di jurusan lainnya, banyak anak anak pejabat, namun perbedaan di antara mahasiswa tidak terjadi.

Orang2 miskin tidak merasa kesulitan karena negara Indonesia kala itu, meski negara berkembang, menyediakan berbagai program bea siswa bagi mereka. Dengan bantuan negara baik pinjaman maupun hibah, tidak ada hutang budi antara mahasiswa di ITB.

Berbagai yayasan pun didirikan pemerintah untuk mengumpulkan uang bagi mahasiswa kurang mampu, seperti yang dulu terkenal, yayasan supersemar.

Anak2 ITB yang merantau dan perlu biaya hidup tambahan, umumnya karena kuliah ditempat orang2 pintar, dipercaya masyarakat Bandung menjadi guru belajar bagi anak2 mereka. Sehingga kesulitan keuangan dapat di atasi.

ITB tanpa Diskriminasi

ITB harus keluar dari industrialisasi pendidikan. Ini adalah momentum bagi 100 tahun ITB, yang baru saja diperingati beberapa hari lalu. Cara pandang pendidikan tinggi negeri saat ini, telah gagal menyaring generasi pintar dan autentik serta penuh inovasi. Sebab, 10 tahun belakangan ini, ITB dan kampus2 ternama telah menjadi tempat anak2 orang kaya menimba ilmu.

Sistem pendidikan Indonesia yang hancur, karena kompetisi murid2 dilakukan dengan “drilling” via bimbingan2 belajar, membuat fungsi sekolah untuk mencetak orang pintar, cerdas dan inovatif hilang. Hanya beberapa sekolah, seperti SMA 8 di Jakarta atau SMA 3 di Bandung, misalnya, yang identik antara sekolah, guru dan kepintaran anak murid. Selebihnya, kebanyakn, murid2 pintar identik dengan bimbingan belajar yang menjamur di berbagai kota2 besar.

Bimbingan belajar semakin lama semakin mahal. Paket paket bimbingan belajar bahkan ada yang berbiaya ratusan juta, dengan sistem menginap selama sebulan serta jaminan uang kembali. Alhasil, kemampuan murid masuk ke perguruan tinggi negeri berbanding lurus dengan biaya yang dikeluarkan orang tua murid pada perusahaan bimbingan belajar itu.

Sistem rekrutmen mahasiswa di Leiden University, Belanda, misalnya, pada generasi saya, dilakukan dengan lotere. Istri saya yang mendaftar di jurusan psikologi misalnya, tidak membutuhkan seleksi. Sebeb, seleksi dianggap selesai dalam sistem sekolah menengah di sana. Kelebihan peminat menyebabkan dilakukan undian. Yang tersingkir tidak sakit hati, karena tidak merasa lebih bodoh.

Dalam konteks kesulitan hidup akibat hancurnya ekonomi Indonesia masa pandemi Covid-19 ini, selayaknya ITB melakukan terobosan baru. ITB tidak perlu terjebak pada sumber pembiayaan dari kantong orang tua mahasiswa. Berbagai sumber pendanaan harus dipikirkan, baik meminta jatah ke Sri Mulyani berupa uang stimulus fiskal, maupun dari alumni-alumni, khususnya yang dulu miskin2. (note: pada jaman 80an mahasiswa yang memakai sendal jepit cukup banyak di ITB, sangkin miskinnya).

Dengan berubah orientasi, yakni pendidikan bukan industri serta mencari bibit bibit pintar dan inovatif, ITB harus membebaskan persaingan 100% kepada semua calon mahasiswa. Tidak lagi mem block 30% untuk orang2 kaya atau yang punya rekening Rp. 100.000.000. Sehingga ITB tidak melakukan diskriminasi pada orang2 miskin.

Penutup
Pendidikan adalah instrument negara untuk melakukan gerakan egalitarian, equality, dan anti diskriminasi bagi bangsa, sehingga orang2 miskin mampu melakukan mobilisasi vertikal dalam mengejar cita-cita. Pem block an 30% jumlah mahasiswa ITB pada orang2 kaya dan memastikan mayoritas mahasiwa ITB dari murid2 yang di pompa ilmunya oleh bimbingan2 belajar super mahal, akan menjadikan ITB sebagai industri. Jika itu dipertahankan, akan membuat ITB kehilangan inovasi dna terus terjungkal dari misinya sebagai kampus rakyat.

Diskriminasi terhadap orang2 miskin juga akan membuat suasana kampus tidak sehat nantinya. Orang2 miskin seolah2 harus berhutang budi pada orang2 kaya yang membayar lebih mahal. Padahal urusan pembebanan biaya pada orang2 kaya sebaiknya diselesaikan melalui sistem tax progresif dalam sistem negara bukan sistem pendidikan di kampus.

Jika sifat ITB yang diskriminatif terhadap orang2 miskin dapat di atasi, maka mahasiswa mahasiswa bersendal jepit akan muncul lagi di ITB pada masa krisis ekonomi saat ini. Namun, mereka tetap anak2 pintar dan penuh harapan ke depan.