Redesain Food Estate, Solusi Atasi Krisis Pangan Indonesia

Pandemi Covid-19 memunculkan berbagai masalah tak terkecuali di bidang pangan. Badan pangan dunia (FAO) April 2020 memperingatkan akan terjadi kekurangan di berbagai belahan dunia.

Dalam mengatasi persoalan pangan, Presiden Jokowi memerintahkan para menterinya untuk mengatasi masalah ini.

Kemudian pemerintah bergerak cepat dengan merencanakan food estate di Kalimantan Tengah yang terdiri atas lahan intensifikasi seluas 85.456 ha dan lahan ekstensifikasi seluas 79.142 ha, termasuk dari lahan gambut.

Dr Marcelino Pandin pemerhati ekonomi lokal mengingatkan, resesi dan ketahanan pangan berkelindan karena dengan adanya resesi akan banyak PHK, perekonomian yang akan terpuruk, daya beli masayarakat menurun, harga-harga akan meningkat.

“Apabila pasokan kurang dan daya beli masayarakat menurun, maka akan mempengaruhi stabilitas sosial ekonomi dan politik. Adanya pandemic Covid-19 juga berpengaruh terhadap produksi pangan dalam negeri,” ungkap Marcelino.

Di sisi lain negara-negara yang selaman ini sumber impor pangan Indonesia, khususnya beras juga mengalamai hal yang sama, sehingga negara-negara tersebut tentunya akan mementingkan kebutuhan pangan dalam negeri mereka sendiri.

Kata Marcelino, di sisi lain impor pangan juga akan menguras devisa. Pada lima tahun terakhir untuk mengimpor beras gandum saja telah merogoh devisa negara sebesar antara 1,5 sampai 2,8 milyar dollar.

Dr Sugeng Budiraharsono seorang pakar di bidang pengembangan wilayah perdesaan mencatat ide food estate bukan hal baru, padaal tahun 1970- an PT. Patra Tani telah melakukan hal tersebut di Sumatera Selatan.

Tahun 1995 juga telah dilakukan proyek Pengembangan Lahan Gambut satu juta hektar. Tahun 2010 juga direncanakan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) seluas 1,2 juta hektar.

“Namun ketiga proyek pengembangan food estate tersebut saat ini nyaris tak terdengar. Barangkali sebelum melaksanakan proyek food estate lagi, perlu memahami pembelajaran yang baik dan jelek dari ketiga proyek food estate tersebut,” paparnya.

Kata Sugeng Budiraharsono, penentu keberhasilan food estate, apalagi food estate modern, antara lain adalah hardware, orgware, brainware dan software.

Hardware berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur dan teknologi budiaya, pengolahan, sampai rekayasa kesesuaian lahan dan iklim mikro. Orgware berkaitan dengan rekayasa sosial buaya dan kelembagaan masyaraka yang bermitra dengan dunia usha dengan dukungan dai lembaga pemerintah.

Software berkaitan dengan lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, pendidikan dan pelatihan dan pengetahuan masyarakat. Sedangkan brainware berkaitan dengan sumber daya manusia untuk menghasilkan kreativitas dan inovasi. Kempat hal ini salin terkait dan akan meningkatkan daya saing dari produk-produk yang dihasilkan oleh food estate tersebut.

Drs Mirwanto Manuwiyoto MSi pakar yang banyak berpengalaman di dunia pengembangan organisasi masyarakat perdesaan mengingatkan beberapa faktor yang menunjang keberhasilan food estate tersebut memerlukan waktu lama dan ketekunan adalah untuk mempersiapkan orgware dan brainware. Padahal masalah kekurangan pangan sudah menghadang di depan mata.

Ir Oon Kurniaputra MA dan Ir Arsyad Nurdin MSi ahli tanah dan transmigrasi daerah 3T (terluar terdepan dan tertinggal) menganalisis bahwa Pemetaan kabupaten/kota yang rentan pangan yang dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan Kementerian pertanian, bahkan daerah rawan pangan (kategori 1, 2 dan 3) sebagian besar bukan berada di Kalimantan Tengah, namun di Papua dan Papua Barat.

Jarak yang jauh dari kedua daerah tersebut tentu akan berpengaruh terhadap rantai pasoknya. Apalagi barang-barang pertanian memiliki sifat mudah rusak, volumeous dan bulky dan ini akan membawa konsekwensi terhadap tingginya biaya transportasi.

Kelima pakar tersebut sepakat bahwa dalam menghadapi masalah kekurangan pangan ada strategi jangka pendek dan jangka panjang.

Strategi jangka pendek adalah: (a) rumah tangga agar menyimpan bahan pangan untuk jangka waktu dua tiga bulan ke depan, atau bagi masyarakat yang mengkonsumsi beras, sampai panen musim gadu.

Hal ini sesuai dengan paradigma baru bahwa ketahanan pangan titik beratnya bukan kepada ketahanan pangan nasional tapi lebih kepada ketahanan pangan rumah tangga; (b) memanfaatkan instrumen Dana Desa untuk membeli gabah yang masih ada pada akhir musim panen ini dan panen musim gadu pada beberapa bulan mendatang, merevitalisasi bangunan yang tidak digunakan untuk lumbung desa ataupun lumbung komunitas. Pengelolaan mulai dari pembeliaan gabah, pengolahan menjadi beras, sampai pemasaran berasnya diserahkan kepada BUMDES; dan (3) pemanfaatan lahan pekarangan untuk penyediaan pangan.

Strategi jangka panjang dalam rangka ketahanan pangan adalah: (a) pengembangan food estate pada lahan sawah yang sudah ada yang berbasis klaster dan inovasi untuk dapat meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing produk dan wilayah; Pengembangan food estate ini tentunya diutamakan pada daerah-daerah yang rawan pangan dan daerah sekitarnya; (b) agar dapat mengurangi konsumsi beras, maka masyarakat didorong untuk memakan sayuran; (c) agar mengurangi impor gandum maka pemerintah agar memberikan afirmasi kebijakan untuk penggunaan MOCAF (Modified Cassava Flour) yang berbasis bahan baku singkong, sebagai campuran terigu; dan (d) meningkatkan daya coping mechanism masyarakat dalam ketahanan pangan. Disamping itu gagasan tentang Metropolitan Food Cluster juga patut untuk dikembangkan khususnya mengantisipasi krisis pangan di perkotaan yang memiliki keunggulan pada rantai pasok yang efisien dan produktif.