Oleh: Geisz Chalifah
Kaum liberal udik yang di kampungnya tinggal dalam suasana homogen mengalami kekagetan budaya ketika beradaptasi tinggal di kota besar.
Namun mereka butuh eksis suaranya ingin didengar, mengasong proposal untuk dapat biaya hidup perlu isu menarik. Dengan narasi-narasi menjual ketakutan publik, mereka mengasong isu pluralisme, kebhinekaan, islam fundamentalis, radikal dsbnya.
Kaum perempuan kelas menengah muslim kota besar tak peduli dengan isu politik. Mereka asik dengan kehidupan sendiri kalaupun ada diskusi hangat maka sebatas perceraian artis.
Kaum Liberal Udik melenggang dengan narasi kebohongan yang dijajakan kesana kemari.
Tahun berjalan musim berganti jaman berubah. Kaum emak-emak apolitis mengalami perubahan orientasi. Mereka sadar sesadarnya terhadap lingkup politik, kepemimpinan yang tak berpihak plus kesadaran spritual yang semakin meninggi.
Kaum pedagang asongan penjual isu murahan tak menyadari perubahan orientasi dari kelas menengah muslim, terutama kaum emak2 yang selama ini apatis bahkan cenderung percaya dengan asongan yang mereka jajakan setiap saat.
Untuk beberapa waktu kaum perempuan itu percaya pada dagangan mereka, kelompok- kelompok pembawa isu islam dalam pusaran politik itu jahat, anti kebhinekaan dsbnya.
Gelombang besar 212 datang menerjang, ribuan para perempuan dengan lipstik mewah, berdandan mewah, dengan ratusan bahkan ribuan mobil mewah hadir di Monas. Kaum liberal udik otak dikit terperangah.
Mereka meyakini jualan mereka menakuti kaum awam akan selalu laris. Kali ini mereka terpelanting dipinggir jalan.
“Da’wah” mereka bermodal jempol lewat akun bodong maupun akun orisinal, yg digunakan untuk mendapat follower sebanyak – banyaknya lalu digunakan untuk dapat sedikit recehan dari para petualang politik tak lagi mampu mempengaruhi pola pikir orang lain.
Emak2 kelas menengah yg sebagian besarnya berjilbab, rajin kumpul di mall2 mewah. Mereka hafal lagu Queen, hafal lagu Sting, hafal lagu-lagu Bon Jovi dsbnya, melawan propaganda kaum Liberal Udik yang masih berfikir kaum muslim berjilbab itu hanya kenal lagu kasidahan.
Mereka salah memotret situasi, tak faham perubahan orientasi karena semangatnya sejak awal memang bukan kerja intelektual, hanya pedagang asongan murahan yang dibungkus oleh istilah2 rumit agar terkesan pintar namun sedungu-dungunya dungu.
Kerja modal jempol makin tak laku tak lagi mampu mempengaruhi banyak orang kecuali sesama mereka sendiri saling sahut yang itupun dipenuhi akun bodong. Hobby ngewine yang dibayari orang lain sambil ngobrol politik seolah faham situasi makin jarang yang bayari.
Liberal Udik semakin panik, terlebih bila kekuasaan berganti. Uang recehan yang biasa diterima dengan tipu kanan kiri bermodal nyatut proposal tak akan ada pembeli.
Emak2 kelas menengah muslim makin merangsek ketengah pusaran politik. Mereka memiliki nara sumber mereka sendiri yang mereka percayai, mereka pandai memilah mana ustadz original mana ustadz gadungan.
Mereka buat acara sendiri dengan biaya sendiri.
Mereka melawan secara tegas kaum perempuan berwajah garang, berambut pirang modal cat kiloan yang narasinya mengumbar kebencian pada kaum muslim.
Saat pilkada DKI berlangsung.
Perlawanan kaum perempuan yang sebagiannya berjilbab itu tak sekedar berkumpul di mall mewah, bahkah mereka, para kaum milineal bepenampilan keren dan mewah berparas cantik dengan sengaja membuat video2 berisi ejekan pada narasi2 yang dikembangkan Liberal Udik.
Dalam berbagai video-video yang mereka buat lalu disebarkan di media sosial, para perempuan muda berpenampilan keren itu memberi pernyataan: Yang seperti ini islam radikal ?
Yang seperti ini islam fundamentalis ?
Tawa renyah mereka sambil mengatakan demikian adalah perlawanan paling menghinakan pada kaum Liberal Udik Berotak Dikit yang tak lama lagi harus putar haluan dalam mencari uang recehan.
Asongan mereka semakin tak laku, jualan kedunguan semakin menghempas kekerdilan mereka ditepian jalan. Mungkin ada baiknya mereka balik kampung untuk ngangon kebo.