Beda Pendapat, Furu’ vs Ushul

Taushiah: KH. Luthfi Bashori
Transkrip: Rizal Affandi

Perbedaan pendapat atau pandangan di antara tokoh-tokoh Islam itu boleh terjadi, bilamana terkait dengan masalah furu’iyah, yaitu cabang-cabang agama.

Yang terkenal kalau di Indonesia ini misalnya, apakah seseorang itu shalat subuhnya harus pakai qunut atau tidak pakai qunut?
Ini urusan furu’ atau cabang.

Itu perbedaan pendapat yang memang terjadi. Jangankan di antara tokoh-tokoh zaman sekarang, di kalangan para shahabat Nabi saja ada perbedaan pendapat di antara mereka.

Baik dalam menyikapi konten suatu ayat Al Quran maupun hadits Nabi SAW, dan itu sering terjadi, tidak masalah jika masalah furu’ atau cabang agama.

Tapi masalah ushul, maka jangan ada berbeda pendapat. Misalnya, apakah Allah itu Maha Esa atau tidak Maha Esa alias berbilang. Maka umat Islam tidak boleh berbeda pendapat dan harus satu kata, bahwa Allah itu Maha Esa.

Siapapun yang manyatakan dirinya Islam, baik masyarakat awam apalagi tokohnya, maka harus satu keyakinan dalam bidang ushul, dan siapapun yang menyalahi ushul, maka hukumnya murtad.

Demikian juga tatkala menghadapi serangan-serangan musuh, tentunya musuh yang dimaksud dalam dunia Islam itu adalah orang-orang kafir, maka umat Islam harus bersatu padu melawan serangan orang-orang kafir.

Walaupun dalam urusan furu’, terjadi perbedaan-perbedaan dalam berpendapat, namun hendaklah tokoh-tokoh Islam ini, mempunyai langkah strategis bagaimana cara mengemas persatuan umat.

Perbedaan-perbedaan furu’ itu memang ada di dalam empat mazhab, ada mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, mazhab Hanbali.

Coba dicermati, itu kan tidak semua pendapat empat imam ini sama? Bahkan banyak sekali terjadi berbeda pendapat. Kadang-kadang satu madzhab saat menghukumi suatu kasus mengatakan hukumnya halal, yang satu lagi mengatakan haram.

Padahal hakikat halal dan haram itu tidak dapat menyatu. Tapi bukan berarti perbedaan furu’ itu lantas menyebabkan pertengkaran.

Tentunya perbedaan yang terjadi di antara empat madzhan ini adalah pendapat fiqih atau pendapat yang bersifat Ijtihadi.

Tapi tatkala menghadapi musuh Islam, misalnya kalau di Indonesia ini, seperti dulu pernah terjadi adanya pemberontakan G30S/PKI, maka umat Islam harus bersatu, mau kyainya, habaibnya, ustadnya atau masyarakat umumnya, atau orang-orang yang aktif di masjid atau musalla, bahkan orang muslim yang setiap hari hidup di pasar. Namun, kalau sudah menghadapi gentingnya ancaman dari luar Islam, atau dari orang-orang kafir, maka umat Islam harus bersatu padu, dan bahu membahu melawan musuh Islam.

Jadi harus dipetakan, dan para tokoh Islam itu harus paham cara memetakan, jika ada Fulan bin Fulan berkata demikian, dan ada yang merasa tidak cocok. Maka harus dipetakan, yang disampaikan itu dalam urusan apa?

Kalau dalam urusan furu’iyah, itu hak setiap orang, dan kita berhak untuk menjawabnya sesuai dengan keyakinan kita.

Misalnya begini, di bulan suci Ramadan ada orang yang makan di siang hari karena lupa, kemudian di tengah makan dia ingat. Nah apakah dia harus langsung di muntahkan misalnya?

Ternyata menurut Imam Fulan, ini harus langsung dimuntahkan, sedangkan menurut yang lain mengatakan, kalau dia lupa tidak harus langsung dimuntahkan, karena memang lupa. Demikianlah contoh kecil.

Ada perbedaan pendapat yang kita boleh bersikap di dalam bab seperti ini. Karena contoh ini adalah hanya masalah urusan furu’.

Tapi misalnya ada info valid, bahwa umat Islam di Indonesia akan diserang oleh tentara Amerika, atau akan diserang oleh tentara Tiongkok, akan diserang oleh tentara Jepang, akan diserang oleh tentara Inggris dan sebagainya, maka umat Islam khususnya bagi tokoh-tokoh Islam wajib hukumnya untuk dapat menyatukan umat itu, agar satu kata dalam bersikap. Karena yang berselisih dari kesepakatan umat Islam, dapat dihukumi sebagai golongan munafiq yang pura-pura berbaju Islam.

Maka hendaklah setiap orang menyatakan kepada sesama muslim: “Hai lawan saya itu bukan engkau, tapi lawan kita adalah para penjajah ini, atau orang-orang kafir harbi yang akan menghancurkan negara kita Indonesia. Khususnya lawan kita itu yang akan membunuh atau membantai umat Islam Indonesia, maka kita wajib untuk bergandeng tangan dalam memerangi mereka.”

Begitulah kurang lebih, yang sehsrusnya dianjurkan oleh tokoh-tokoh Islam.

Para tokoh Islam itu harus bisa memilah-milah mana itu urusan furu’, mana itu urusan ushul. Yang mana kalau urusan ushul ini tidak boleh terjadi berbeda pendapat, karena kalau masalah ushul, seperti keyakinan kepada Allah SWT, keyakinan kepada ada Nabi Muhammad sebagai Rasulullah, keyakinan terhadap Al Quran sebagai kitab suci umat Islam, kalau itu yang diperselisihkan, maka siapapun yang berselisih dengan keyakinan umat Islam itu hukumnya kafir atau murtad. Walaupun hal ini beda masalahnya dengan urusan perang melawan kaum kafir harbi.

Tapi di dalam konteks yang saya katakan, tatkala kita menghadapi serangan musuh dari luar Islam, kita wajib bersatu dan kita tumbuhkan semangat untuk i’laa-i kalimatillah, meninggikan ayat-ayat Allah yaitu berjuang demi lestarinya agama Islam.

Seperti inilah yang perlu untuk ditekankan, khususnya kepada tokoh-tokoh Islam.