RUU HIP: ‘Adu Kuat’ MUI vs PDIP

Oleh : Ahmad Daud*

Sudah maklum bagi khalayak ramai bahwa pengusung RUU HIP adalah PDIP. Upaya memasukan RUU HIP terkesan “diselundupkan” dalam Prolegnas DPR RI 2020.

PDIP mungkin awalnya tak menyangka bahwa penentangan akan terjadi sedemikian rupa. Awalnya hanya tentang tidak masuknya TAP MRS tentang pelarangan komunisme dalam RUU HIP, lalu akhirnya terbongkar juga upaya memaksakan kembali Pancasila jadi trisila dan ekasila dan konsep ketuhanan yang berkebudayaan ke dalam RUU itu. Konsep – konsep diatas adalah konsep yang disampaikan Sukarno pada 1 Juni 1945.

Sejatinya Konsep Sukarno ini tidak disepakati para founding fathers republik ini. Pada 22 Juni 1945 semua tokoh bersepakat atas Piagam Jakarta yang “secara ajaib” direvisi lagi pada tanggal 18 Agustus 1945. Konsep terakhir inilah yang digunakan negara ini hingga sekarang. Artinya 1 Juni itu merupakan “langkah mundur”.

Mungkin PDIP merasa jumawa karena Presiden adalah orangnya dan mereka punya kawan koalisi mayoritas di DPR RI. Bim salabim, RUU HIP lolos tahap pertama yaitu masuk dalam Prolegnas DPR RI.

Disini kita harus sadar bahwa mimpi dan cita – cita ideologis PDI P itu tetap terus mereka upayakan, hal yang nyaris tidak kita lihat dari partai berbasis massa islam dimana mereka terkesan menghindari isu – isu islamis dalam perpolitikan indonesia masa kini.

Palu Godam MUI

Ma’ruf Amien yang tak menyerahkan jabatan Ketua Umum MUI ternyata menjadi simalakama buat pemerintahan. Dikira dengan tetap duduk di pemerintahan, MUI bisa “terkunci”.

Yang terjadi justru sebaliknya. Sesuai aturan , pelaksana Ketua MUI beralih ke Wakil Ketua yang bukan dari Ormas Ma’ruf Amin berasal. Sulit bagi pemerintah “mengontrol MUI” dan kobaran penolakan semakin membesar ketika NU, organisasi yang berasal Wakil Presiden ikut menolak juga dan menuntut RUU HIP dicabut. Sikap demikian juga dituntut ormas lintas agama dan elemen kebangsaan.

Bak guyuran api, RUU HIP dimaklumatkan MUI dengan instruksi palu godam “wajib dicabut”. Maklumat ini bahkan diikrarkan oleh MUI se Indonesia. Dalam konteks pergerakan, MUI telah mengumandangkan kepada Umat untuk siap berjihad.

Dalam bahasa syar’i sejatinya maklumat MUI ini setara dengan fatwa. Maka memori “palu godam” MUI ke Ahok berkobar kembali. Dan semenanjung Indonesia bangkit teriakan lawan “komunis gaya baru”.

Traumatik Nasakom dan PKI

Terutama bagi generasi 90 an ke bawah, trauma PKI dan Nasakom masih terasa. Dan generasi ini masih banyak yang hidup dan jadi tidak heran gerakan penolakan RUU HIP berkobar dengan cepat.

Harus diakui bahwa konsep – konsep kenegaraan ala Sukarno telah membuat trauma bangsa ini. Konsep Nasakom misalnya ternyata jadi alat membelah masyarakat dan membungkam tokoh – tokoh agama yang menolak gerakan komunis.

Itu sebab nya meski di RUU HIP tidak ada pasal “yang melegalitas komunis”. Tetap saja bagi MUI bahwa RUU HIP adalah upaya membangkitkan kembali komunisme di negeri ini.

Oleh karena itu RUU HIP harus dihentikan. Bahkan pelaksana Ketua MUI telah mengumandangkn Hidup Mulia Atau Mati Syahid. Sikap MUI ini sebenarnya telah membuat garis tegas “ikut kami atau kaum komunis gaya baru itu”.

Arah Kompas PARTAI – PARTAI VS NEW 212

Menarik bila kita cermati sikap partai – partai terutama koalisi. Seiring dengan maklumat MUI, partai – partai berubah haluan sikapnya. Internal Golkar sendiri juga menolak. Ormas Trikarya (Soksi – Kosgoro dan MKRG) keluarkan rekomendasi agar Partai Golkar mencabut dukungan terhadap RUU HIP.

Airlangga Hartarto bisa dibilang lagi limbung karena dia butuh dukungan pasca kisruhnya kartu prakerja dan santer isu yang tersebar RUU HIP ini sudah dibarter dengan RUU omnibus Law yang jadi “gawean Golkar”. Airlangga dan Golkar bisa dibilang ingkar janji terhadap PDI P jika tak mendukung RUU HIP. Hemat kata, PDIP ditinggal sendirian dalam RUU HIP ini.

Simalakama dan Tari Ulur Ala Jokowi

Kenapa pemerintahan Jokowi terkesan gamang menghadapi RUU HIP ini. Tidak lain tidak bukan patut dikira itu karena Jokowi butuh dukungan terhadap pencalonan keluarga yaitu : besan, menantu, adik ipar dan anaknya Jokowi dalam pencalonan Pilkada. Kan tidak lucu jika Jokowi yang kader PDI P , keluarganya yang mencalonkan diri di Pilkada malah tidak didukung PDI P.

Jika PDI P tidak mendukung, alamat partai lain juga bisa mencabut dukungan kepada keluarga Jokowi yang pada maju itu. Untuk itulah kuat dugaan pemerintah akan terus mengulur sikap paling tidak hingga pendaftaran pencalonan Pilkada awal september nanti.

Siapa Lebih Panjang Nafasnya?

Kunci dari pertarungan maklumat MUI vs misi RUU HIP yang diusung PDI P ini adalah soal siapa lebih panjang nafas ?

Bagaimana pun sepanjang sejarah MUI tak pernah mencabut fatwa atau maklumat yang telah dikeluarkan. Sementara PDI P juga tak ingin kehilangan muka. Karena itu ke depan hanya pihak yang terlena, lengah dan menurun stamina nya yang bakal kalah dalam pertarungan ini.

Beberapa waktu ke depan Aksi Tolak RUU HIP kemungkinan bakal menurun. Disaat itu boleh jadi PDI P dan Jokowi bakal berupaya meloloskan RUU HIP dengan berbagi trik.

Masirah Kubra : Palu Godam MUI Kedua?

Tapi harus dipahami bahwa masalah RUU HIP dan komunisme gaya baru ini lebih besar dari persoalan penistaan agama yang dilakukan Ahok. Dan MUI punya senjata “palu godam” yaitu masirah kubra. Sejatinya inilah yang ditunggu umat juga.

Menarik kita tunggu kapan “masiroh kubro” ini akan dikeluarkan oleh MUI. Jika masirah kubro ini keluar maka mungkin Jokowi dan PDI P bisa dihadapkan pada pilihan masih mau tinggal di Negeri ini atau “dipulau burukan” . Demikian juga bagi umat beragama , jika RUU HIP ini lolos maka bersiaplah “dilubang buayakan”.

Wallahu A’lam bish shawwab.

*Penulis adalah Pegiat 212