Bertemu Tommy Soeharto, Komunitas Masyarakat Tionghoa Serahkan Pernyataan Sikap Tolak RUU HIP


Gelombang penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) ternyata terus membesar. Setelah sejumlah Ormas Islam dan berbagai elemen masyarakat, kini penolakan juga datang dari Komunitas Masyarakat Tionghoa.



Namun berbeda dengan Ormas yang lain, pernyataan sikap penolakan Komunitas Masyarakat Tionghoa terhadap RUU HIP tersebut justru diserahkan kepada putra bungsu Presiden kedua RI, Tommy Soeharto dalam satu pertemuan yang berlangsung Jum’at (3/7).





“Kami memang sengaja menemui mas Tommy dan menyerahkan pernyataan sikap ini kepadanya. Alasannya karena mas Tommy adalah putra pak Harto sebagai Presiden RI yang dulu membubarkan PKI dan melarang ajaran komunis di Indonesia. Kami ingin mendengar juga cerita dari sisi keluarga pak Harto,” ujar jurubicara Komunitas Masyarakat Tionghoa, Lieus Sungkharisma.



Pernyataan Sikap yang ditandatangani sembilan tokoh Tionghoa ini, yakni Yap Hong Gie, Indrajadi, Thomas, Jendi Mukianto, Arief Wijaya, Adian Radiatus, Martinus Johan Musi, Ano Yap dan Lieus Sungkharisma itu, menurut Lieus nantinya juga akan disampaikan kepada pimpinan DPR, MPR, DPD RI, Ormas dan Pemerintah.



Pernyataan Sikap itu sendiri terdiri dari tujuh point yang intinya berisi penolakan Komunitas Masyarakat Tionghoa terhadap RUU HIP tersebut.



“Terutama karena adanya klausul dan pasal-pasal di dalam RUU HIP yang mengundang kontroversi hingga menimbulkan gejolak di masyarakat,” kata Lieus.



Dicontohkannya tentang adanya klausul yang ingin memeras Pancasila menjadi Trisila dan akhirnya Ekasila (Gotong Royong), adanya Pasal 7 ayat (2) yang menyebut “Ketuhanan yang Berkebudayaan” yang akan menggantikan sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, dan tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, serta larangan terhadap setiap kegiatan untuk menyebarkan faham atau ajaran Komunis/Masxisme-Leninisme.



Oleh karena itulah, tegas Lieus, dalam pernyataan sikap ini Komunitas Masyarakat Tionghoa meminta agar RUU HIP ini tidak hanya dihentikan pembahasannya, tapi juga dicabut dari Prolegnas 2020.



“Kami meyakini bahwa secara hukum kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara sudah sangat kuat dan sudah final. Landasan Perundang-undangan tentang Pancasila telah diatur di dalam TAP MPRS nomor XX/1966 juncto TAP MPR nomor V/1973, TAP MPR nomor LX/1978, dan TAP MPR nomor III/2000 beserta beberapa undang-undang turunannya. Oleh karena itu tidak perlu lagi dibuat Undang-Undang Baru untuk menegaskan kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara telah disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 dan tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12/2011; bahwa Pancasila adalah sumber segala sumber hukum. Sedangkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan sebagaimana bunyi Pasal 3 ayat 1 UU No. 12/2011,” tuturnya.



Lebih lanjut pernyataan sikap tersebut menyatakan, memasukkan Trisila dan Ekasila maupun Ketuhanan yang Berkebudayaan ke dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis bahwa itu merupakan pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, tidak hanya mereduksi rumusan final Pancasila pada 18 Agustus 1945, tapi juga mengingkari perjuangan, usaha keras, jerih payah dan kesepakatan para founding fathers and mothers Republik Indonesia sebagai peserta sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).



“Hendaklah dipahami bahwa, selama berlangsungnya sidang-sidang BPUPKI, para tokoh bangsa, di antaranya adalah lima tokoh dari Tionghoa yakni Yap Tjwan Bing, Mr. Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoei, Oey Tjong Hauw dan Liem Koen Hian, telah bersepakat untuk mendirikan negara Indonesia berdasarkan lima prinsip yang diusulkan Bung Karno dengan menyingkirkan berbagai sekat perbedaan yang ada. Lima prinsip inilah yang kemudian dirumuskan menjadi Pancasila pada Sidang BPUPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan kemudian ditetapkan sebagai dasar negara,” jelasnya.



Komunitas Masyarakat Tionghoa, kata Lieus, sependapat dengan pernyataan Yap Tjwan Bing dan Oei Tjong Hauw dalam pidatonya pada sidang kedua BPUPKI tanggal 11 Juli 1945 yang menyatakan bahwa; jikalau ada seseorang yang berbuat salah, jangan bangsanya yang dipersalahkan. Kerakyatan daripada negara merdeka bukan satu barang yang ditawarkan pada orang apakah dia mau atau tidak. Satu negara merdeka harus menetapkan rakyatnya dalam undang-undang. Maka, jika ada yang tidak baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seharusnya bukan Pancasilanya yang diutak-atik. Diubah-ubah. Diperas-peras. Tapi prilaku dan sikap para pemimpin dan warga bangsalah yang mestinya diintrospeksi,” katanya.



Dalam akhir pernyataan sikapnya, Komunitas Masyarakat Tionghoa mendesak agar pemerintah dan DPR lebih sensitif dan bijaksana dalam menyikapi aspirasi rakyat atas munculnya berbagai penolakan terhadap RUU HIP ini. Tentunya dengan lebih mengedepankan kepentingan seluruh rakyat serta mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa.



Dalam pertemuan lebih kurang satu jam itu, Tommy Soeharto menyatakan sependapat dengan pernyataan sikap yang dibuat Komunitas Masyarakat Tionghoa tersebut. Namun Lieus tak bersedia menyebutkan apa komentar Tommy Soeharto atas pernyataan sikap komunitas Tionghoa ini.



“Selama satu jam berdialog, ada banyak hal yang dikatakan mas Tommy terkait Pancasila dan PKI. Tapi belum saatnya dipublikasinya sekarang ini. Sabarlah,” ujar Lieus.