Masyarakat Madani di Jaman Nabi

Taushiah: KH. Luthfi Bashori
Transkrip: Rizal Affandi

Sebagian orang, khususnya orang-orang liberal itu, kadang-kadang mengistilahkan sesuatu di dalam dunia modern dengan bahasa-bahasa agama, tetapi diplesetkan misalnya istilah masyarakat “Masyarakat Madani”.

Kalimat Masyarakat Madani itu dari kata “Madinah”, Madinah itu kota.

Kalau yang dimaksudkan Masyarakat Madani itu berkiblat kepada masyarakat yang dulu dibangun oleh Rasulullah SAW di kota Madinah, disana Nabi Muhammad SAW mengadakan perjanjian damai dengan seluruh penduduk Madinah, yang semuanya itu bukan orang Islam saja, tetapi ada juga non muslim seperti Yahudi dan Nasrani bahkan orang Majusi. Ada juga suku-suku yang lain, yang tentu mereka ini berbeda dalam pandangan kehidupan dengan umat Islam.

Di sana Nabi Muhammad SAW mengadakan suatu perjanjian, namanya Mitsaqul Madinah.

Apa itu Mitsaqul Madinah? Yaitu Piagam Madinah.

Dalam Piagam Madinah itu banyak poin-poin tentang kemasyarakatan, yaitu tata cara hidup bersama. Kalau para penduduk Madinah ini sudah menyatu dalam satu ikatan perjanjian, kemudian ada musuh dari luar kota, misalnya orang-orang kafir Quraisy Makkah itu datang menyerang Madinah, maka kewajiban seluruh warga Madinah, apapun agama dan sukunya, harus bersatu padu mengusir musuh.

Baca juga:  Nasionalisme

Yang seperti ini diistilahkan di zaman modern, adalah penjajahan oleh bangsa lain. Jadi mengusir penjajah itu bukan hanya kewajiban orang muslim, tapi menjadi kewajiban bagi seluruh penduduk di suatu negeri.

Hanya saja dalam teks Piagam Madinah itu, Rasulullah SAW yang ditunjuk dan didapuk menjadi pemimpin kota Madinah, beliau SAW menyelipkan peraturan-peraturan yang diadopsi dari syariat Islam, seperti aturan potong tangan bagi pencuri.

Padahal potong tangan bagi pencuri itu, tidak ada dalam ajaran agama selain Islam. Maka siapapun penduduk Madinah kalau mencuri dengan nishab atau batas tertentu, mereka ini harus dipotong tangannya.

Ini berarti Rasulullah SAW menerapkan syariat Islam lewat peraturan-peraturan kenegaraan di Madinah. Nah demikian kurang lebihnya.

Kalau kita bicara tentang Masyarakat Madani, kemudian kita hanya mengatakan bahwa pada saat Nabi Muhammad SAW membentuk masyarakat Madani atau Madinah secara umum, tanpa memberitahukan kepada masyarakat tentang apa yang dimaksudkan oleh beliau SAW dalam peraturan-peraturan itu, maka orang menganggap bahwa Nabi Muhammad itu penganut Pluralisme, dan dalam ajaran Nabi Muhammad itu dianggap pluralisme, semua boleh masuk. Padalah tidak begitu hakekatnya.

Baca juga:  Berharap Masuk Surga

Kalau urusan kenegaraan secara umum misalnya, seperti pengamanan negara, maka ini semua harus dibangun secara bersama-sama.

Demikian juga aturan undang-undang yang diadopsi dari Syariat Islam, wajib ditaati secara bersama-sama termasuk oleh orang kafir sekalipun.

Yang dimaksud di sini adalah kafir dzimmi. Adapun kafir dzimmi itu adalah kafir yang bayar jizyah atau bayar pajak kepada pemerintahan Islam, maka mereka ini berhak untuk dilindungi oleh negara.

Tetapi bagi kafir harbi, yaitu kafir yang memusuhi Islam dan tidak bayar pajak, aturannya berbeda. Kafir harbi kalau masuk di kota Madinah atau tempat-tempat lain yang disitu dihuni oleh umat Islam maka wajib diperangi.

Buktinya tercatat dalam sejarah, bahwa Nabi Muhammad juga mengadakan peperangan-peperangan saat beliau memimpin kota Madinah.

Misalnya ada Perang Badar, Perang Uhud, Perang Tabuk, Perang Yarmuk dan lain sebagainya. Beberapa kali Nabi Muhammad memimpin peperangan untuk menghadapi orang kafir harbi.

Seperti itulah hakikatnya yang dinamakan hidup dalam dunia asyarakat modern atau Masyarakat Madani.