Lieus Sungkharisma: Soal Pancasila, Orang Tionghoa Harus Belajar dari Lima Tokoh BPUPKI

Gonjang-ganjing tentang Rancangan Undang Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) ternyata tak hanya mengundang reaksi dan penolakan dari kalangan umat Islam. Sejumlah tokoh masyarakat Tionghoa juga ikut bersuara dan menolak dilanjutkannya pembahasan RUU tersebut.

“Usulan RUU HIP itu sangat kontra produktif dan sesungguhnya sangat tidak penting untuk dibahas,” ujar Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak), Lieus Sungkharisma.

Menurut Lieus, ada tiga hal krusial yang ditengarai berpotensi mendegradasi Pancasila sebagai ideologi bangsa dalam RUU HIP itu. Pertama tentang adanya klausul Pancasila yang diperas menjadi Trisila dan akhirnya Ekasila (Gotong Royong). Kedua, adanya Pasal 7 ayat (2) yang menyebut “Ketuhanan yang Berkebudayaan” yang ditengarai akan menggantikan sila pertama Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ketiga, tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, serta larangan terhadap setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunis/Masxisme-Leninisme.

“Menurut saya munculnya RUU HIP ini cenderung mengingkari kesepakatan yang sudah diputuskan oleh para pendiri bangsa selama berlangsungnya sidang-sidang BPUPKI pada tahun 1945,” ujar Lieus.

Disebutkan Lieus, selama berlangsungnya sidang-sidang BPUPKI tahun 1945 itu, para tokoh bangsa di antaranya adalah lima tokoh dari Tionghoa yakni Yap Tjwan Bing, Mr. Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoei, Oey Tjong Hauw dan Liem Koen Hian, sepakat untuk mendirikan negara Indonesia berdasarkan lima prinsip yang diusulkan Bung Karno dengan menyingkirkan berbagai sekat perbedaan yang ada.

Baca juga:  Bela Jokowi-KH Ma'ruf Amin, Gus Nuril Siapkan Pasukan Berani Mati

“Lima prinsip inilah yang kemudian dirumuskan menjadi Pancasila pada Sidang BPUPKI pada tanggal 18 Agustus 1945,” tutur Lieus.

Kesepakatan para founding and fathers and mothers republik Indonesia itu telah pula disetujui oleh lima tokoh Tionghoa dalam BPUPKI tersebut. Sebagaimana Liem Koen Hian, dalam pidatonya pada sidang kedua BPUPKI pada tanggal 11 Juli 1945, menyebut bahwa semua orang Tionghoa akan menjadi bangsa Indonesia.

Begitu juga dengan Oei Tjong Hauw yang mengatakan bahwa jikalau ada seseorang yang berbuat salah, jangan bangsanya yang dipersalahkan. “Kerakyatan daripada negara merdeka bukan satu barang yang ditawarkan pada orang apakah dia mau atau tidak. Satu negara merdeka harus menetapkan rakyatnya dalam undang-undang,” ujarnya

Oleh karena itu, kata Lieus, orang Tionghoa hari ini harus belajar dari sejarah pembentukan Republik Indonesia tersebut. Yakni dengan menyingkirkan sekat-sekat perbedaan demi satu tujuan bersama, yaitu berdiri tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Jika ada yang tidak baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seharusnya bukan Pancasilanya yang diutak-atik. Diubah. Diperas-peras. Tapi prilaku dan sikap para pemimpin dan warga bangsalah yang mestinya diintrospeksi. Terutama karena Pancasila adalah buah olah pikir, urun rembug dan kesepakatan para pendiri bangsa yang tidak lahir dari sekedipan mata,” katanya.

Baca juga:  Pagar Nusa NU Sebut MPI Muhammadiyah Bloon

Lieus mengakui, memang upaya untuk memelihara dan mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan nyata seringkali tak sama pada setiap orang. “Akan selalu ada persepsi yang berbeda. Tapi itu tidak berarti Pancasilanya yang harus diotak-atik,” tegasnya.

Lieus menegaskan, dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang pluralis, sila-sila dalam Pancasila sejatinya sudah final dan mengikat. Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaran Perwakilan serta Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah keniscayaan yang keharusnya menjadi dasar dan tujuan bersama.

Maka, tambahnya, di dalam masyarakat Pancasila itulah para elit bangsa seperti tokoh agama, politisi, pejabat pemerintahan, akademisi, seniman, budayawan, wartawan, seharusnya mengambil peran pentingnya masing-masing.

“Sayang, peran itulah yang saat ini terabaikan. Semua hal yang terkait negara dan bangsa, semuanya kini diambil alih oleh politisi,” keluh Lieus.