Guru Besar Ilmu Hukum Undip: Sulit Mencari Rumusan Pidana di KUHP Bakar Bendera PDIP

Pembakaran bendera Partai Demokrasi Indonesia (PDIP) sulit dicari rumusan pidana di KUHP.

“Tampaknya sulit menilai untuk mencari rumusan pidana dari aksi pembakaran bendera PDIP dalam KUHP,” kata Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Prof Suteki di akun Facebook-nya.

Menurut Suteki, sulitnya mencari rumusan pidana karena bendera PDIP bukanlah bendera nasional atau lambang negara, atau bendera agama. “Lain halnya jika yang dibakar bendera Merah Putih karena memang sudah diatur dalam undang-undang,” ungkapnya.

Suteki mengatakan, bendera PDIP tidak dapat dikualifikasi sebagai bendera nasional, lambang negara. Jika PDIP membuat laporan tentang penghinaan atau pencemaran nama baik terkait aksi pembakaran bendera itu. “Hal itu juga tidak bisa dilakukan karena delik penghinaan dan pencemaran nama baik itu subjeknya orang bukan badan, organisasi atau barang, kecuali ada yang menghina menyebut nama orang,” ujar Suteki.

Baca juga:  Pakai Surat Perintah Undang Mahasiswa, Pengamat: Staf Khusus Milenial Presiden Terlihat Dungu

Kata Suteki, pembakaran bendera PDIP akan dilaporkan delik pengrusakan barang orang lain berdasar Pasal 406 KUHP juga akan sulit.

Pasal itu berbunyi “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tidak dapat dipakai atau menghilangkan barang yang sesuatu atau seluruhnya a‎tau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500.”

Kata Suteki, jika dilaporkan menggunakan Pasal 406 sulit bendera itu bukan barang milik orang lain, baik sebagian atau seluruhnya, melainkan milik peserta aksi sendiri dan bukan hasil curian.

Baca juga:  Aktivis Malari 74: Pemerintah & DPR tak Mendengar Aspirasi Rakyat

Selain itu, Suteki mengatakan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita sudah mempunyai etika kehidupan berbangsa sebagaimana diatur dalam Tap MPR No. VI Tahun 2001.

“Di bidang politik pemerintahan, masalah potensial yang dapat menimbulkan permusuhan dan pertentangan diselesaikan secara musyawarah dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan sesuai dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya, dengan tetap menjunjung tinggi perbedaan sebagai sesuatu yang manusiawi dan alamiah,” pungkasnya.