Sifat Guru Mu’allim & Murabbi

Taushiah: KH. Luthfi Bashori
Transkrip: Rizal Affandi

Kalau kita bicara tentang masalah sifat guru atau ustad atau pengajar itu ada dua sebenarnya.

Ada seorang guru itu yang bisa dikatakan “Muallim”, dan yang satu lagi namanya “Murabbi”.

Kalau Muallim itu adalah pengajar, dia kepentingannya adalah menyelesaikan kewajiban mengajar materi pelajaran, sehingga murid-muridnya itu bisa paham.

Jadi kalau di sekolah-sekolah, kan ada istilahnya kurikulum, misalnya ada suatu kitab, yang pada periode pertama atau di tahun pertama, kurikulumnya harus selesai. mmaka sang Muallim ini mengajarkan dengan secara baik, sehingga para murid itu paham, bahkan satu kelas benar-benar memahami keterangan dari sang guru tersebut. Ini namanya jiwa guru yang Muallim.

Tapi berbeda dengan Murabbi. Kalau Murabbi itu adalah seorang guru, sama dengan Muallain, hanya saja ia mempunyai kepedulian yang lebih terhadap murid-muridnya daripada Muallim.

Misalnya kalau dalam satu kelas itu, ada salah seorang anak yang dia tidak bisa memahami pelajarannya, bahkan tampak wajahnya murung, termenung.

Kalau seorang Muallim, maka ia merasa tidak ada urusan, bahkan terserah sang murid itu sendiri, mau konsentrasi belajar atau tidak.

Tapi kalau Murabbi tidak begitu, maka anak tersebut didekati, ya tidak harus pada saat belajar di kelas, tapi misalnya setelah selesai belajar, kemudian anak tersebut dipanggil.

Baca juga:  Tips Mencari Jodoh

Mungkin kalau di sekolah-sekolah dulu ada yang namanya BP atau Badan Penyuluhan yang tugasnya terkait dengan mental spikologi dari murid-murid.

Maka sang Murabbi akan bertanya: “Kenapa engkau murung? Apakah ada masalah? Atau apa yang terjadi di dalam keluargamu ?”.

Misalnya terhadap anak kecil perlu ditanya, “Apakah engkau diberi uang saku sama ayah dan ibumu itu kurang?

Seperti inilah yang namanya sikap peduli seorang Murabbi, atau ia melakukan sesuatu jika terjadi pada anak muridnya yang tidak beres dengan pelajarannya itu, ia tidak serta merta menvonis negatif. Namun ia berusaha mempelajari apa yang terjadi pada diri anak didiknya tersebut.

Ada satu film pendek beredar di medsos, yang isinya menceritakan ada seseorang murid yang terlambat masuk kelas, hari pertama sang murid diperingatkan dan dihukum cambuk oleh gurunya, kemudian dikatakan agar besok tidak boleh terlambat.

Kemudian esok hari, ternyata murid itu terlambat lagi, akhirnya dicambuk lagi, “Awas kalau esok lagi kamu terlambat, kamu akan aku hukum dengan lebih keras lagi”.

Kemudian pulanglah si anak. Esok hari secara kebetulan sang guru yang menghukum anak tadi, berjalan dan melihat si anak murid yang sering terlambat itu, ternyata si musid sedang mendorong gerobak dagangan, untuk berjualan. Setelah ketemu dan ditanya-tanya, ternyata ibunya sedang sakit.

Jadi si anak ini berusaha menggantikan kedudukan sang Ibu. Padahal dia masih usia kecil sekali, masih sekolah dasar, yang sebenarnya tidak pantas untuk berjualan.

Baca juga:  Daarul Qur'an Beri Santunan Yatim dan Dhuafa di Semarang

Maka tatkala sang guru sudah di kelas, dan si murid tadi datang terlambat, sang murid diminta: “Kamu terlambat lagi hari ini, kamu berikan tanganmu kepadaku” kata gurunya.

Setelah tangan si murid diberikan, ternyata bukan dipukul, tapi dirangkul oleh sang guru sambil mengatakan: “Tanganmu ini tangan yang barakah, karena engkau sudah membantu keluargamu, khususnya ibumu yang sedang sakit, dan engkau telah menggantikan kedudukannya”.

Sifat seperti inilah yang dikatakan seseorang itu menjadi Murabbi, karena kepeduliannya yang bukan sekedar mengajar selayaknya seorang Muallim, tapi benar-benar Murabbi yaitu ahli mentarbiyah atau mendidik para murid, sekalipun mereka memiliki karakter masing-masing.

Dia merasa harus bisa, dia harus tahu banyak hal terhapad pendidikan, bukan sekedar mewajibkan para muridnya harus paham pelajaran, tapi kondisi dari psikologi muridnya itu, dia merasa harus memahaminya juga, sehingga bisa mengarahkan sedemikian rupa agar benar-benar sang murid itu menjadi berhasil dalam kehidupannya, baik di dunia, khususnya di akhirat.

Itu yang namanya jiwa seorang Murabbi yang sebenarnya, tentu ada perbedaan dengan sikap seorang Muallim.